11 || Despair

127 49 42
                                    



Sedikit tersenyum, Vino beranjak ingin menggeser pintu kamar B18 saat kak Anisa dan Arvi sudah masuk ke dalam lift, tapi gerakannya berhenti. Dia kembali menatap Reha lewat jendela bundar yang ada di pintu kamar tersebut.

Gadis berambut panjang itu terlihat membuka mata setelah tidak sadarkan diri beberapa waktu lalu. Membuat Vino menghembuskan napas lega dari balik pintu. Tersenyum sejenak sampai akhirnya ia mulai termenung sendiri.

"Enggak," ujar Vino. Dia menipiskan pandangan, masih menatap Reha yang tampak sekuat tenaga menarik napas di sana. "Kalau gue masuk, mungkin dia bakal keganggu. Gimana kalau dia tambah sakit?"

Benar. Vino sangat yakin dengan hal itu. Gadis itu masih terlalu lemah, sedangkan Vino tau kalau dirinya muncul, mungkin Reha harus menggunakan sisa tenaganya untuk mengusir dirinya. Sama seperti sebelumnya.

Vino menghela napas. Tidak ingin Reha lebih sakit dari ini, akhirnya ia memutuskan untuk memanggil dokter atau suster yag sedang berjaga. Harapnya, Reha bisa segera pulih. Tentunya agar Vino dapat menempelinya lagi seperti serangga.

Sembari menunggu Reha diperiksa oleh dokter, Vino beringsut duduk di salah satu bangku yang tersedia di dekat kamar B18. Kemudian, terlintas sebuah ide di otaknya untuk membuat group OSIS dan MPK. Setelah Vino pikir-pikir, mereka memang belum punya group semacam itu.

Beberapa menit berlalu. Asik bertukar pesan dan melakukan spam di group barunya membuat Vino tidak menyadari kalau dokter beserta suster yang memeriksa Reha sudah pergi dari ruangan.

"Loh, enggak nunggu di dalam, Dek?" tanya Arvi yang baru saja tiba bersama kak Anisa. Tadinya sempat berpikir kalau pemuda ini sudah duduk manis di samping Reha sambil melihatnya dari dekat, tapi sepertinya hal itu tidak terjadi melihat Vino yang justru berada di luar seperti ini. Sia-sia saja usahanya.

Vino sedikit terperanjat. Mengalihkan atensi dari ponselnya dengan cepat, lalu mendongak, menatap kedua orang yang sudah berdiri di depan pintu kamar B18 dengan Arvi yang menenteng kantong plastik berisi tiga kotak makanan berwarna putih. Sepertinya mereka hanya membeli makanan.

"Enggak, Kak." Vino tersenyum bodoh. Dalam hati sudah meruntuki diri sendiri karena mendapati kak Arvi yang memasang tampang sinis padanya. Vino segera berdiri, lalu menatap kak Anisa sambil menggaruk tengkuknya tidak gatal.

"Saya pulang duluan ya, Kak. Nitip get well soon buat Reha, hehehe."

"Eh, enggak masuk dulu, Vin?" tanya kak Anisa bingung.

Vino mengulum senyum, lalu menggeleng-geleng. "Enggak usah, Kak. Bunda udah neror soalnya," balas Vino sambil menyembunyikan tangannya ke belakang. Untungnya kak Anisa tidak tau bagaimana gelagat Vino saat berbohong.

"Kalau gitu makasih udah bantuin jaga Reha ya, Vino. Salamin buat bu Astuti di rumah."

"Santuy, Kak Anisa. Nanti saya sampaikan, tapi bareng sama kue harusnya," celetuk Vino dan berhasil mengundang tawa kak Anisa dan Arvi.

"Kamu tuh, ya. Bercanda mulu," tutur kak Anisa sambil menggeleng-geleng. Tanpa sengaja ia melihat ke arah Arvi. Pria itu sedang memandanginya dengan senyuman tipis, membuat kak Anisa refleks menahan napas dan segera mengalihkan pandangan pada Vino.

"Biar suasananya gak tegang-tegang amat, Kak," kata Vino sambil menyimpan ponselnya ke dalam saku celana, lantas mengimbuh lagi. "Saya pulang dulu, Kak. Jangan lupa ucapan get well soon saya buat Reha."

"Kalau takut kelupaan, kasih tau sendiri aja, Dek." Arvi angkat bicara. Jelas sekali bahwa ia menyindir Vino, membuat pemuda itu menyengir saja.

Kak Anisa tertawa lagi. Entah kenapa kepribadian Vino menurutnya sangat lucu. "Dia nitip gitu karena Reha gak pernah gubris dia, Vi. Diusir mulu anaknya."

"Buset, bongkar aib pelanggan," ujar Vino terdengar jenaka. Kemudian sedikit menunjuk ke arah lift, membuat kak Anisa yang mengerti jadi melambaikan tangan sebagai tanda perpisahan.

"Hati-hati di jalan ya. Jangan ngebut, kasian bu Astuti kalau kamu masuk RS kayak Reha," ucap kak Anisa diiringi senyum simpul.

Vino kembali tertawa garing mendengarnya, lalu melirik pada Arvi yang ikut melambaikan tangan di sebelah kak Anisa. Sampai sekarang, Vino belum tau siapa namanya. Mungkin di pertemuan selanjutnya, ia harus berkenalan dengan pria tinggi nan baik hati itu.

"Saya duluan, Kak. Thank you buat yang tadi," ucap Vino terdengar agak menyesal.

"Iya."

☆☆☆


"Lah, Nis ... Reha udah siuman," ucap Arvi sedikit kaget begitu masuk ke ruangan. Dengan sigap ia membantu Reha yang terlihat berusaha bangun dari posisinya.

Sementara kak Anisa yang baru saja menutup pintu kamar langsung menoleh, lalu menghembuskan napas lega dan mengulas senyuman tipis sambil menghampiri Reha yang sudah beringsut terduduk.

"Gimana perasaan kamu? Ada yang sakit, Dek?" tanya kak Anisa terdengar gusar. Dia menarik satu kursi bundar yang ada di sebelah Arvi, lalu duduk dan menatap Reha penuh kasih sayang.

"Enggak," jawab Reha ketus. Dia menoleh pada kak Anisa dengan tatapan kosong, membuat sang kakak angkat kehilangan senyumannya seketika.

"Kenapa juga Reha sampai dibawa ke RS, hambur-hamburin uan--"

"Dek." Kak Anisa menginterupsi. Keningnya mengerut, menandakan bahwa ia benar-benar tidak suka dengan kalimat Reha yang selalu seperti itu. "Berapa kali Teteh harus kasih tau, jangan ngomong kayak gitu. Enggak ada yang sia-sia kalau itu buat kesembuhan kamu."

Tersenyum sinis, lantas Reha menjawab, "Sembuh? Lupain aja. Reha gak senaif itu sampai harus percaya sama harapan palsu. Cape, Reha bener-bener gak kuat lagi. Daripada harus jadi beban kayak gini, akan lebih baik kalau Reha mati--"

"Dek!"

Reha tersentak, lantas melengos kemudian mengerjap-ngerjap. Baru kali ini kak Anisa meninggikan suara padanya, membuat Reha merasa sesak dan ingin menumpahkan segalanya.

Tapi, meskipun begitu, setetes air mata tidak akan Reha biarkan loloskan. Walau ia tau, bahwa setiap perkataan yang ia lontarkan bagai racun bagi dirinya dan kak Anisa, namun ia tidak berniat menariknya. Bagaimanapun juga, itu memang sebuah kebenaran. Bahwa Reha adalah beban untuk kak Anisa.

Apalagi, kondisi Reha yang seperti ini juga termasuk salah satu alasan mengapa kak Anisa belum menikah sampai sekarang. Bagi orang-orang, mungkin kepedulian kak Anisa terlihat seperti anugrah untuk Reha yang bukan saudari kandungnya. Berbeda halnya dengan Reha, segala kebaikan kakak angkatnya itu justru hanya membuatnya merasa semakin tidak berguna bahkan hampir tidak bisa bernapas karena rasa bersalah yang kian lama semakin menumpuk.

"Keluar."

Spontan Arvi yang sejak tadi diam memerhatikan pun terkejut. Dia menatap tidak percaya pada Reha. Gadis mungil itu baru saja mengusir saudarinya sendiri.

"Apa?" desis kak Anisa terdengar tidak terima.

"Gue bilang keluar!" ulang Reha terdengar menusuk. Kali ini ia berteriak dan membuat kak Anisa mengepalkan tangan dengan bola mata yang perlahan memerah. Tanpa kata, wanita berambut sebahu itu bangkit dari duduknya dan pergi.

"Nis!" panggil Arvi, namun tidak digubris oleh kak Anisa. Wanita itu keluar dengan pintu yang digeser kasar, membuat Arvi segera menyusulnya.

Seiring kepergian kak Anisa, ekpresi Reha perlahan berubah layu. Embun yang tadinya ia haramkan untuk keluar, kini sudah membanjir dengan perasaan yang tambah hancur. Isakan pilu dari bibir mungilnya pun seakan nyanyian kesedihan tanpa kata.

Reha ingin menangis sejadi-jadinya, namun ia memilih membungkam mulutnya dengan tangan. Menahan suaranya agar tidak mengganggu pasien lain dan hal itu hanya membuat dadanya kian sesak, seakan tidak bisa menukar karbon dioksida dengan oksigen.

Sampai akhirnya air mata Reha tidak bisa keluar lagi, mungkin sudah terlalu lelah meratapi nasib. Tatapannya kini mengosong dan otaknya tidak bisa memikirkan apa-apa selain kalimat, "Pengen mati aja."

.
.
.

To be continued ....

****
See you in the next chapter guys!!!

Bitter As a Medicine [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang