Part 42 - Luka Tak Kasat Mata
***
Sudah hampir lima belas menit, Vino masih termenung dan belum juga beranjak dari pelantaran rumah sakit. Angin berhembus cukup kencang, begitu pula awan di langit yang terlihat mulai menghitam tanda akan datangnya hujan.
Tapi sepertinya Vino tak peduli dengan hal itu. Karena perkataan Arvi beberapa saat yang lalu berhasil membuatnya terdiam seribu bahasa. Kakinya lemas begitu saja, sementara hatinya seperti ditusuk ribuan duri akibat kekecewaan yang lagi-lagi ditimbulkan oleh Reha.
"Apa gue emang segitu enggak berartinya di hidup lo, Re. Sampai hal penting kayak gini, pun lo enggan utarain ke gue," batin Vino nelangsa.
Reha selalu tahu bagaimana cara menyakitinya tanpa menimbulkan luka di fisik. Selayaknya tak punya hati, gadis itu bahkan lebih jahat dari tokoh antagonis di serial India yang sering bundanya tonton. Dan Vino akan menjadi tokoh paling tolol karena masih menyayangi Reha lebih dari rasa sakit yang ditimbulkan gadis itu kepadanya.
Vino menghela napas panjang, mencoba menepis segala kesedihan itu dari hatinya dan menutup paksa lukanya agar tidak semakin menganga. Lalu dengan sisa-sisa tenaga yang dimilikinya, ia bangkit dari bangku dan melenggang ke dalam rumah sakit dengan senyuman agak dipaksakan. Menuju lantai dua, kamar nomor H-05 seperti yang dikatakan Arvi sebelum pergi tadi.
Dalam perjalanan itu, entah mengapa waktu berjalan sangat lambat meski orang-orang nampak berlarian melewatinya. Isi kepala Vino begitu ramai, seakan ada benang kusut yang begitu sulit untuk ia uraikan. Dia tidak tau harus bersikap seperti apa saat bertemu Reha nanti. Apa dirinya pura-pura bodoh saja, seakan tidak tahu soal keberangkatan gadis itu ke luar negeri. Tapi bagaimana jika sampai akhir, Reha tidak membiarkannya tau? Rasanya Vino ingin menangis saat itu juga.
Sejujurnya, Vino lelah memperjuangkan kisah ini. Dia juga kerap menekan ego dan mencoba mengerti, namun tak pernah sekali pun ada penghargaan dari gadis itu. Reha tetap diam seolah ada ataupun tidak adanya Vino di sisinya, semuanya akan sama saja. Lalu Vino harus bagaimana lagi agar ketulusannya dapat berbuah manis, sama seperti yang ia yakini selama ini.
Sesaat, langkah Vino terhenti. Netranya tertuju pada kamar berlabel H-05 yang sudah tidak jauh lagi dari posisinya. Dia ingin bertemu Reha, namun otaknya justru memberi isyarat agar mundur saja dan melarikan diri dari tempat itu. Atau mungkin sebaiknya Vino menghilang dan tidak bertemu gadis itu lagi.
"Loh, Vino."
Teguran itu membuat Vino berjengit dan menyadari satu hal. Bahwa sampai di sini, bahkan semesta melarangnya untuk menyerah. Karena saat Vino berniat memutar arah, kak Anisa tiba-tiba muncul dari arah berlawanan. Dan sudah jelas bahwa wanita itu akan menghalanginya pergi.
"Udah lama di sini? Ayo, masuk." Kak Anisa mengajak Vino begitu sampai. Satu tangan wanita itu sibuk menenteng beberapa obat, mungkin baru kembali dari apotek rumah sakit. Sementara tangan lainnya digunakan untuk memutar gagang pintu.
"Enggak usah, Teh." Vino menyengir saja ketika kak Anisa menatapnya heran. "Kayaknya aku gak sempat masuk deh. Bunda tadi nyuruh pulang," tutur Vino, refleks menyembunyikan tangan kanannya ke belakang menandakan dirinya sedang berbohong.
Kak Anisa terkekeh mendengar itu. "Jangan khawatir, Vin. Malahan bu Astuti masih ada di dalam tuh. Nanti jadiin Teteh tameng kalau dia marahin," ujarnya santai. Tangannya yang sempat berhenti, pun kembali bergerak dan memutar gagang pintu di depannya.
"Njirr." Vino sukses mengumpat dalam hati kala kebohongannya tidak cukup untuk ia jadikan alasan. Lalu segera memutar otak, mencari alasan lain. "Sebenarnya, aku ada urusan juga--"
KAMU SEDANG MEMBACA
Bitter As a Medicine [SELESAI]
Teen Fiction• Spin off Ketos Vs Sekretaris OSIS • Bisa dibaca terpisah ____ Hanya kisah picisan tentang Vino Bramantio yang menyukai seorang gadis. Ireha Zafira. Gadis manis yang sengaja dia temui di toko kue Zafiracake dengan dalih sebagai customer. Anehnya, R...