4 || Care

310 90 60
                                    

"Oke, sekarang ibu minta kalian memberikan kesimpulan tentang pengertian akuntansi menurut versi kalian."

Guru ekonomi bernama lengkap Santika Dewi itu, pun bertanya setelah menjelaskan beberapa materi mengenai akuntansi. Dia sedikit mengedarkan pandangan, lantas membuat Vino yang duduk di bangku kedua dari terakhir jadi menegakkan diri.

Merasa tidak siap karena sedari awal pembelajaran, Vino memang tidak memerhatikan guru dan malah sibuk melamun sambil memainkan bolpoin di ujung bibirnya. Bahkan keresahannya itu semakin meningkat saat guru muda itu menatapnya kini, seolah sudah mengunci dirinya.

"Ya, Vino."

Hampir saja Vino mengumpat keras, jika tidak segera mengingat siapa wanita yang ada di depan kelas itu sekarang. Vino menelan ludah, lantas melirik Geraldi yang duduk di sebelahnya untuk meminta sedikit bantuan. "Di, apaan?" tanya Vino sedikit berbisik.

"Gak tau, jirr. Dari tadi gue gak merhatiin juga," bisik Geraldi sama kalapnya.

"Anjir, Di. Kalau mau goblok, jangan sekarang!" protes dengan suara super rendah. "Trus gue kudu ottoke--"

"Vino, silakan," potong bu Santika yang terdengar mendesak, membuat Vino jadi tambah panik.

"Mm, anu, itu," Vino gelagapan dengan wajah yang mengerut. Tangannya sempat menepuk-nepuk paha si Geraldi, tapi cowok di sebelahnya itu juga nge-blank dan cuma merespon dengan gelengan.

"Anu, anu. Anu apa, Vino? Anu itu banyak artinya," sindir ibu Santika. Teman kelas Vino yang lain, pun hanya bisa menyimak sambil menahan tawa melihat Vino yang agaknya ter-bully.

"Anu, itu. Menurut saya ... akuntansi adalah bagian dari ilmu ekonomi, Bu. Ha.ha.ha ...." jelas Vino yang diakhiri tawa garing, membuat Geraldi yang duduk di sebelahnya melotot. Sedangkan Fidelya yang duduk di bangku depan sudah cekikikan sambil mengatupkan bibir sedari nama Vino dipanggil tadi.

"Vino ... Vino, ini nih jadinya kalau kamu nggak merhatiin apa yang Ibu jelaskan." Ibu Santika menghela napas. "Ayo, ngaku. Dari tadi kamu ngelamunin apa sampe gak nyimak pelajaran?"

"Ah, perasaan Ibu aja kali. Saya nyimak terus kok," kilah Vino yang kemudian menoleh pada Geraldi. "Ya, kan, Di?"

"Ha?" Geraldi melongo, walau berikutnya otaknya langsung konek. "Hm, iya," jawabnnya sambil mengangguk-angguk.

"Vino." Ibu Santika menyebut nama Vino dengan penekanan. "Saya gak sepolos itu, ya."

Vino menggaruk kepalanya tidak gatal, merasa terpojok karena sudah skak dan mat. "Jadi sebenarnya begini, Bu. Tadi di kantin, air bakso saya belom habis. Makanya saya melamun."

Sontak, semua yang mendengar jawaban cowok berwajah manis itu jadi tergelak tidak karuan. Kelas yang hening berubah riuh, membuat Vino yang jadi pusat kekonyolan, pun mendengkus bukan main.

Untung Vino itu punya stok kesabaran kunci-kunci dunia.

Geraldi refleks mencubit lengan Vino, membuat cowok itu terperanjat.

"Astaga, Di! Gue bukan maso!" ujarnya sambil menggosok bekas cubitan Geraldi.

"Ya, elo geblek. Cari alasan yang logis, bege," protesnya dengan suara pelan. Takut-takut bu Santika yang sedang berdiri sambil menepuk jidat di depan sana mendengarnya.

"Vin, kalau mau ngebadut, liat tempat woi! Sakit perut gue, kamp--pun!" lontar Fidelya yang tadinya ingin mengumpat, tapi langsung meralat saat bu Santika menoleh padanya. Sementara Haliya yang duduk di sebelahnya tidak banyak berbicara dan hanya menopang dagu dengan pikiran entah sudah ke mana.

Bitter As a Medicine [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang