Arvi duduk di dua anak tangga yang berada di sebelah toko kue Zafira. Kemudian agak mendongak ke anak tangga paling atas, menatap Reha yang baru saja menutup pintu rumah. Gadis itu sudah mengganti baju dengan piyama bergambar doraemon.
"Sini duduk dulu," ajak Arvi sambil menepuk-nepuk sisi tangga yang ia duduki saat ini.
"Reha gak semudah itu dibujuk, Kak," ucap Reha berterus terang. Sekarang sudah tidak menangis lagi, hanya menyisakan kelopak matanya yang memerah dan berair. Dia hanya bergeming, menatap lurus Arvi yang berada di ujung anak tangga bawah.
Langit senja yang kemerah-merahan telah hilang dan lampu di sisi trotoar pun satu per satu berkedip, menandakan hari sudah malam. Cahaya putihnya kini menerangi jalanan yang perlahan melengang.
Semburat senyum tipis yang pria itu tunjukkan padanya, membuat Reha menghela napas pasrah. Pada akhirnya ia duduk di sebelah Arvi. Menekuk kaki, lalu meringkuk dan menumpu dagunya di atas lutut.
"Sehat, Dek?" tanya Arvi. Sebenarnya perban di kaki Reha beberapa waktu lalu berhasil mencuri perhatiannya.
"Lumayan." Reha menurunkan pandangan, menatap sepasang sepatu hitamnya yang belum sempat ia bersihkan sebelum berangkat sekolah tadi pagi. "Tadi abis mimisan lagi," lanjutnya terdengar santai. Reha sudah terbiasa, jadi tidak perlu memasang tampang mendramatisir. Dia tidak butuh rasa kasihan orang lain.
Berbeda dengan Arvi. Pria dengan tahi lalat di bawah matanya itu tersentak kecil. Walau sebelumnya kak Anisa sudah menceritakan kondisi Reha, tapi tetap saja ia tidak bisa menguasai air muka saat mendengarnya sendiri dari gadis mungil ini. Terlebih ekspresi Reha yang terkesan biasa-biasa saja saat mengatakan hal tersebut.
"Kenapa gak mau nerima donor dari kakak kandung kamu, Dek?"
"Pengorbanan yang Reha lakuin sepenuh hati malah dibalas penghianatan sama mereka." Reha melengos. Pertanyaan itu berhasil membuat matanya kembali memanas. Lalu, setetes air asin pun jatuh ke pipinya.
"Air susu dibalas air tuba, kebaikan dibalas kejahatan," lanjutnya tertunduk, menahan isakan tangis yang kembali.
"Dek," panggil Arvi. Tangannya bergerak mengusap bahu Reha yang bergetar, terenyuh menatap Reha yang membalasnya dengan gumaman kecil. Gadis itu mengusap kasar pipinya yang basah.
"Gimana kalau air tuba yang dikasih sama kakak kandung kamu itu mau dia tebus sekarang?"
Reha mengangkat dagu dan menoleh. Tatapannya berubah datar dan tampak kosong, menyiratkan luka yang membuat Arvi hampir tidak bisa berkata-kata.
"Bakal kutolak," jawabnya tanpa pikir panjang.
Membuang napas, Arvi kini bisa mengerti kenapa kakak angkat gadis mungil ini beberapa kali dibuat naik pitam dan hampir menyerah. Reha, gadis ini sulit menerima pendapat orang lain. Dia hanya menuruti egonya dan Arvi juga cukup kesulitan memberinya pengertian.
"Dek, coba kamu pikirin baik-baik." Arvi masih memegang bahu Reha, mencoba memberikan gadis mungil ini aura positif. "Gimana kalau dulu kamu gak donorin ginjal buat kakak kamu, otomatis sekarang sumsum tulang belakang punya dia gak akan ada buat kamu bukan?"
Tidak ada balasan dari Reha selain kepalanya yang kembali tertunduk. Mungkin sedang memikirkan kalimat Arvi yang terdengar cukup logis.
Melihat ada kesempatan untuk memasukkan beberapa doktrin, Arvi segera melanjutkan kalimatnya. "Intinya gini. Kalau kakak kamu memang tulus mau nebus kesalahannya di masa lalu, seenggaknya kamu juga harus berusaha buat nerima niat baiknya. Seperti kata Mail tadi, 'jangan liat siapa orangnya, tapi liat apa niatnya.' Gak salah kan, Dek?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Bitter As a Medicine [SELESAI]
Teen Fiction• Spin off Ketos Vs Sekretaris OSIS • Bisa dibaca terpisah ____ Hanya kisah picisan tentang Vino Bramantio yang menyukai seorang gadis. Ireha Zafira. Gadis manis yang sengaja dia temui di toko kue Zafiracake dengan dalih sebagai customer. Anehnya, R...