32 || Actually Yes

64 17 0
                                    

Part 32 - Actually Yes

****

"Padahal aku bisa berangkat sendiri ...." ucap Reha menatap Zayyan sambil bersuara pelan.

Jujur, Reha tidak enak karena sejak dua hari ini, kakaknya itu terlalu memaksakan diri dan kurang istirahat. Kemarin Zayyan bahkan membawa Reha berkunjung ke makam bapak yang ada di Bandung, lalu kembali lagi ke Jakarta di hari yang sama. Belum lagi urusan pekerjaan sang kakak yang tidak sengaja Reha dengar meminta sekretarisnya untuk mengundur jadwal meeting yang seharusnya ia lakukan di minggu ini.

Bukannya ingin menutup mata dan berpura-pura tidak peduli, Reha bahkan sudah memaksa kakaknya itu pulang. Mengatakan kalau dirinya akan baik-baik saja, mengingat sebelum ini, Reha mendapatkan chat dari Cemara kalau rumah sakit Pertiwi kemungkinan ditutup sehingga rencana operasinya juga akan tertunda beberapa waktu.

Tapi laki-laki itu ngotot dan sekarang malah sewa salah satu rumah di perumahan griya anggrek agar lebih mudah memantaunya seperti saat ini. Reha menghela napas pasrah. Bagaimanapun, Zayyan juga berasal dari gen yang sama dengannya. Mereka sama-sama keras kepala kalau sudah memutuskan sesuatu.

"Gak boleh. Pokoknya selama aku di sini, kamu harus diantar sama aku," tegas Zayyan. Kemudian mengusap puncak kepala adiknya tersebut lembut. Tersenyum tipis walau dalam hati ia menyayangkan saat melihat rambut Reha yang awalnya panjang, kini sudah sebahunya.

"Nanti kalau kamu tiba-tiba ngerasa lemes jangan tunggu tumbang baru mau dibawa ke UKS. Jangan maksain diri. Kesehatan kamu nomor satu, Dek."

"Iya," jawab Reha, mengangguk bosan mendengar semua ocehan yang Zayyan lontarkan. Sebelum berangkat ke sekolah pun laki-laki itu sudah berkicau dengan kalimat yang sama persis menggantikan kak Anisa. Kalau begini terus, lama-lama Reha jadi berpikir kalau kakaknya ini sebenarnya kloningan kak Anisa. Cuman ini beda gender saja.

"Iya, iya. Awas aja kalau masuk telinga kanan keluar telinga kiri," peringat Zayyan menyuruh Reha patuh. Bukannya bagaimana, Reha yang memakai baju olahraga seperti ini saja cukup membuatnya cemas bukan main. Jika bukan karena peraturan sekolah yang melarang wali murid berkeliaran, ia pasti sudah masuk ke dalam dan menemani Reha hingga pelajaran selesai.

"Nanti duduk manis aja di pinggir lapangan kalau udah waktunya praktik. Surat dari dokter jangan lupa dikasih liat ke guru olahraga."

Reha mendecak. Bahkan Zayyan lebih bawel daripada kak Anisa. "Udah? Masih ada lagi?" tanya gadis itu saat Zayyan sudah berhenti berkhotbah di depannya.

"Masih ada." Saat Reha merenggut, Zayyan jadi terkekeh pelan. Tanpa sadar mencubit gemas pipi adiknya itu sambil berkata, "Canda, sana masuk. Langsung telpon kalau ada apa-apa."

Lalu mendorong Reha yang membuat gadis itu terseok memasuki gerbang sekolah sambil mengusap pipinya yang baru saja dicubit gemas oleh Zayyan. Kemudian menoleh ke belakang hanya untuk menemukan senyuman lebar kakaknya tersebut.

Untuk sesaat, hati Reha berdesir hangat. Momen seperti ini sudah lama sekali tidak ia rasakan sejak mereka berpisah. Reha senang karena kini Zayyan sudah bersamanya lagi, walau tetap saja situasi mereka akan jauh lebih baik saat bapak masih ada.

"Makasih, Kak Zayyan," cicit Reha begitu Zayyan melepasnya tepat di depan gerbang. Melambai padanya yang sudah melanjutkan langkah masuk ke dalam sekolah.

Di lobi, Reha menemukan Tiwi yang sedang berdiri di depan mading. Gadis yang tidak bosan menyepol rambutnya dengan model seadanya itu memandang serius manding di depannya. Selembar cerpen yang sudah menempel di sana sejak seminggu lalu.

Reha langsung merapikan rambut pendek sebahunya. Kemudian berlari kecil mendekati teman kelasnya itu. Lalu mengagetkannya.

"Tiwi!"

Bitter As a Medicine [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang