35 || Secret Admirer?

48 19 0
                                    

Part 35 - Secret Admirer?

****

Menoleh kiri kanan, Reha mendengkus sebelum memutuskan menyebrang dari halte ke depan sekolah saat jalan poros di depannya mulai melenggang. Mobil Zayyan sudah pergi, sementara para siswa yang baru akan masuk ke gerbang sekolah sedikit memerhatikan gadis berambut pendek ini. Mata bengkaknya tampak sembab, hidungnya juga memerah menunjukkan bahwa gadis itu sudah menangis sejak tadi malam.

Belum beruntung? Entahlah. Mungkin kata itu lebih cocok disematkan ke dalam kisah Reha yang tak berhenti dipersulit oleh keadaan. Padahal malam sebelumnya, gadis itu seperti menemukan harta karun berharga saat bu Astuti dengan antengnya memberikan foto Vino yang sedang gitaran di sofa. Dia senang, merasa seperti berjalan-jalan di taman bunga dengan perut dikerubungi ribuan kupu-kupu.

Akhirnya Reha berhasil meluluhkan bu Astuti. Dia pun sudah jujur pada perasaannya. Hanya tinggal sedikit lagi sampai mereka menemukan happy ending. Namun semuanya terasa sia-sia ketika Zayyan datang dan dengan ragu memberi tahunya sesuatu. Sesuatu yang benar-benar membuat Reha tidak bisa menolaknya begitu saja. Karena ... ini bukan tentang hatinya saja, tapi juga tubuhnya.

Mata Reha kembali memanas memikirkan hal itu. Hatinya seperti diremas dan dihancurkan berkeping-keping. Namun gadis itu tidak ingin bersedih terlalu lama. Sisi positifnya, ia sebentar lagi akan lepas dari penyakit yang menggerogotinya selama ini. Meski harus menempuh jarak ribuan kilometer. Ah, tidak. Lebih tepatnya, antar negara.

"Semangat Reha," katanya sambil mengepalkan kedua tangan menyemangati diri sendiri. Lantas menarik napas dan membuangnya pelan. Walau tidak bisa dipungkiri bahwa ia belum juga merasa lebih baik.

Langkah gadis itu diseret paksa menaiki dua tangga, berjalan gontai dengan tidak semangat memasuki lobi. Atensi Reha teralih pada mading yang ada di sisi kanan. Delon si ketua mading baru saja menutup dan mengunci wadah besar berbentuk persegi itu di saat Reha mulai mendekat.

"Ini ...." Reha membulatkan mata. Tak lama terpaku dalam pikirannya sendiri, ia berlari kecil mengejar Delon yang sudah berbelok menuju mading satunya lagi di dekat ruang broadcasting.

"Kak Delon, tunggu!"

"Eh," ucap Delon tersentak kecil melihat gadis berambut pendek itu terengah-engah menghampirinya. "Lo Reha, 'kan?"

Mendengar namanya disebut, Reha tidak terlalu terkejut. Kegiatan bazar membuat dirinya jadi mengenal banyak kakak kelas, apalagi yang merupakan pengurus OSIS. Dan Delon ini merupakan salah satu yang cepat akrab dengannya saat bazar kemarin.

"Gambar sketsa yang baru aja ditempel di lobi," kata Reha masih berusaha mengatur napas. "Beneran ketos yang bikin?"

"Oh, yang sketsanya muka sekretaris OSIS itu ya?" Reha langsung mengangguk cepat. "Hooh, si ketos."

"Seriusan, Kak?" tanya Reha masih tidak percaya.

"Iyaa, dia sendiri yang ngasih gue tadi. Kalau gak percaya, wawancara Hana aja," jelas Delon mulai membawa-bawa nama si sekretaris OSIS untuk memperkuat pernyataannya.

Reha mencibir. Mau tidak mau jadi percaya dan mengalah pada kakak kelasnya ini. "Yaudah. Makasih infonya, Kak," kata Reha berniat berbalik dan menuju kelasnya.

"Lo naksir Adelio, Dek?"

Reha terkekeh spontan menghentikan langkahnya. Kakak kelasnya ini sedang bercanda? Bisa-bisa dirinya dilabrak oleh shipper garis keras ketos dan sekretaris OSIS kalau itu benar-benar terjadi. Dari otak saja, sudah terlihat sekali bahwa level mereka berbeda. Daripada naksir, Reha lebih senang menyebut  dirinya pengagum. Pengagum yang berdiri di garis terdepan agar si ketua OSIS segera berpacaran dengan sekretarisnya. Benar, 'kan?

Bitter As a Medicine [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang