18 || Worry

124 49 71
                                    

"Tumben pulang cepet, Vin."

Yang ditegur malah melirik malas ke sumber suara. Biasanya yang sewot begini si Zevan.

"Ck, gue pulang telat dijulidin, pulang cepet dipertanyain." Vino mendengkus sesaat, lantas melanjutkan kalimatnya. "Ntar gue gak pulang-pulang baru tau rasa."

Zevan terkekeh. "Bang Toyib dong," katanya santai.

Sempat meniup kepulan asap yang menari-nari di atas kopi panas, Zevan menaikkan alisnya sebelah seraya memandangi Vino yang terlihat memikirkan sesuatu.

Adiknya itu sedang memarkir motor matic di sebelah mobil, depan garasi Zevan yang masih tertutup.

"Kenapa lo? Doi diteror Bunda lagi?"

Vino meringis dalam hati. Amit-amit, jangan sampai bundanya melakukan hal itu lagi. Memangnya mau sampai kapan bunda akan bersikap demikian pada semua gadis yang dekat dengan Vino.

Lagian, Vino juga tidak ingin terlalu memikirkannya dulu. Reha saja belum berhasil ia taklukan, tapi rintangan di depannya sudah terlihat semakin terjal. Sampai Vino berpikir bahwa di kehidupan sebelumnya, ia telah berbuat kejahatan yang sangat besar hingga kegagalan selalu mendatanginya.

"Lah, bocah. Ditanya malah diem. Matahari masih terbit di sebelah timur kan?" Zevan akhirnya menegur setelah beberapa detik tidak mendapatkan respon. Aneh saja menurutnya. Vino kan bukan tipe anak yang pendiam. Jadi kesannya horror pas dia tiba-tiba gak bacot kayak biasanya.

"Gue lagi gak mood buat bercanda, Van," sahut Vino dengan wajah kusut. Zevan melongo. Yakin sepenuhnya kalau ada yang salah.

Tanpa kata lagi, Vino menyampirkan tasnya ke bahu. Kemudian berjalan keluar pagar rumah Zevan dan masuk ke rumah yang ada di sebelahnya.


***

"Maksud Teteh apa?" tanya Reha pada kak Anisa. Suaranya bergetar, ia begitu sedih dan tidak terima saat mendengar apa yang direncanakan oleh kakak angkatnya ini. "Kenapa harus dari dia?"

"Dek, Teteh udah kehabisan cara. Cuma ini jalan terakhir yang bisa Teteh tempuh buat kesembuhan kamu," jelas kak Anisa menahan diri agar tidak naik pitam menghadapi keras kepalanya Reha.

"Gak mau. Reha gak mau ketemu mereka lagi ...." Reha tertunduk. Air matanya menetes tanpa bisa ia bendung. Tangannya pun meremas rok sekolahnya. Bibirnya bergetar, tapi Reha tetap melanjutkan kalimatnya, "kenapa Teteh harus minta ke saudara Reha buat jadi donor sumsum tulang belakang? Dia udah jahat dan biarin Ayah ninggalin Reha di panti."

Luka lama gadis itu kembali terbuka bersama rasa pedih yang tidak berujung. Dia sudah tidak ingin mengingat bagaimana perlakuan ayah dan kakak kandungnya di masa lalu.

Seperti air susu dibalas air tuba, kedua orang itu meninggalkan Reha di panti asuhan setelah mengambil ginjal Reha. Lantas membuat gadis itu seperti orang bodoh karena mengira akan dijemput suatu hari.

"Mereka gak berperasaan," cetus Reha terisak. Dadanya terasa sesak setiap kali mengingat hari itu. Meski sudah bertahun-tahun berlalu, namun rasa kecewa yang ia rasakan belum juga sembuh.

Andai saja ia terlahir sebagai orang jahat di dunia ini, Reha ingin sekali menghukum mereka tanpa belas kasih. Sayangnya, semua yang Reha lakukan selama ini hanyalah sandiwara. Hidupnya dipenuhi kebohongan.

Lalu sebuah tangan tiba-tiba menyentuh bahu Reha, membuat gadis itu menoleh padanya. Mail tersenyum meneduhkan, meski hati pemuda itu seperti teriris saat melihat kedua bola mata yang biasanya menatap tajam dirinya kini dipenuhi air mata.

Bitter As a Medicine [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang