9 || Transfusi Darah

383 60 41
                                    


Saat ini, Vino baru saja menghentikan motornya di depan toko kue kesayangannya, ZafiraCake. Memarkir motornya, lalu melepas helm sambil bersenandung ria dengan senyuman yang merekah.

Doi sudah dekat dari jangkauan, tidak mungkin kan Vino memasang wajah cemberut saat menemuinya? Pasang muka ganteng saja, Reha selalu memberinya tatapan jijik, apalagi kalau jelek. Bisa-bisa gadis itu menyeretnya ke tempat pembuangan sampah.

Namun, pemuda yang tadinya akan beranjak dari motornya itu malah mengernyit. Toko kue milik kak Anisa ternyata tertutup dan di depannya terlihat ramai pengunjung.

Tapi anehnya, para orang dewasa tersebut hanya berdiri di depan toko sambil bertukar cerita dengan mimik serius. Mereka seperti menggunjingkan sesuatu yang baru saja terjadi. Membuat Vino jadi penasaran dan memutuskan untuk mendekat, hendak mencari tau.

"Permisi, Ibu-ibu cantik," sapa Vino ramah. Seperti biasa, sepikan basinya tidak ketinggalan.

"Eh, iya." Seorang wanita tua menjawab tidak kalah ramah dari Vino, diikuti ibu-ibu lainnya. Mereka mengalihkan atensi pada pemuda yang terlihat bersahaja tersebut. "Ada perlu apa, Nak?"

"Toko kue Zafira tutup ya, Bu?" tanya Vino sambil menunjuk ke arah ZafiraCake. Ada sedikit rasa cemas yang menghantui, mengingat beberapa saat yang lalu, Vino sempat melihat kak Anisa yang seperti kalang kabut karena sesuatu.

"Oh, iya, Nak. Ibu tutup soalnya gak ada yang jaga. Takut ada yang usil," kata wanita tua itu masih terlihat ramah.

Berbeda halnya dengan Vino, pemuda itu berangsur menurunkan senyumannya. Gelisah melanda hati kecilnya. Semoga ini tidak ada hubungannya dengan Reha. Vino mengerjap-ngerjap, tidak ingin menyimpulkan sendiri, dia memberanikan diri untuk bertanya lagi, "Memangnya gak ada yang jaga, Bu?" tanyanya harap-harap cemas.

"Tadi ada Reha yang jaga kok." Wanita yang berdiri di sebelah wanita tua tadi ikut menjawab. "Tapi dia tiba-tiba pingsan pas saya kebetulan lagi beli kue. Sekarang dia sudah dibawa ke RS Pertiwi sama Mail, putra saya."

Penjelasan wanita itu pun membuat Vino tersentak dan termundur. Bersamaan dengan itu, tanpa sadar, Vino mengencangkan tungkainya menuju motornya.


☆☆☆

Di lorong rumah sakit, suara isakan tangis seorang wanita terdengar begitu pilu hingga mampu menyayat hati seseorang yang tengah berlari bersamanya ini. Arvidan Ahmad, teman sekaligus pria yang baru saja memantapkan hati untuk hidup bersama kak Anisa saat berada di kafe Orion sore tadi.

Langit semakin gelap disertai suara gemuruh tanda hujan akan turun pun melengkapi ketegangan dan kegamangan kak Anisa hari itu. Bermula saat dirinya tiba-tiba menerima telpon dari bu Siti, tetangganya dan mengatakan bahwa Reha tiba-tiba pingsan.

Alhasil, momen bahagia kak Anisa seakan diputar balik saat itu juga. Tanpa sempat menjawab niat baik Arvi, kak Anisa beranjak dari tempat itu sambil meminta tolong pada tetangganya tersebut agar melarikan Reha ke rumah sakit secepat mungkin.

Dan di sinilah kak Anisa sekarang, Rumah Sakit Pertiwi. Duduk tepat di depan IGD dengan kepala tertunduk dalam, juga kedua tangan yang menutupi mulutnya guna meredam rintihan kepedihannya. Sementara Mail, pemuda yang membawa Reha ke rumah sakit sudah pulang sejak tiga menit yang lalu.

"Sudah ya, Nis," ucap Arvi sedikit menarik lembut kak Anisa ke sisinya, menyumbangkan pundaknya sebagai sandara dan berkata, "Reha pasti baik-baik aja." Arvi lalu mengusap-usap punggung kak Anisa dengan maksud menghibur. Sebenarnya dalam hati, ada banyak sekali kalimat penyemangat yang ingin Arvi tuturkan pada kak Anisa, namun tak satu pun mampu terucap.

Bitter As a Medicine [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang