Part 17 - Her Classmate
****
Reha sudah tidak tau lagi harus melakukan apa agar pemuda petakilan seperti Vino menjauhinya. Sejauh ini, gadis itu hanya berjalan di tempat. Bersikap kasar dan jutek tidak ada efeknya bagi pemuda itu. Reha hanya tidak ingin menjalin keakraban dengan siapa pun karena kondisi kesehatannya yang belum juga membaik.
Dokter Samudra selalu mengatakan bahwa anemia aplastik yang diderita oleh Reha bisa sembuh meski tergolong penyakit yang langka. Di mana si penderita membutuhkan donor sumsum tulang belakang yang cocok. Tapi sejauh ini, pihak rumah sakit belum menemukan titik terang. Terlebih risiko kalau ternyata pasca operasi, donor itu malah menunjukkan reaksi penolakan terhadap tubuh pasien.
Lantas, haruskah Reha mengharapkan sesuatu yang tidak pasti di saat transfusi darah hampir tidak dianjurkan lagi oleh dokter?
Reha menghela napas berat. Bel pulang sudah berbunyi sejak lima menit yang lalu. Kelas X IPS 5 hanya tersisa dirinya dan para murid yang sedang piket hari itu. Cepat-cepat Reha memasukkan plastik obatnya ke dalam tas. Tidak lupa dengan buku dan bolpoinnya juga.
Di atas meja, gawai Reha tiba-tiba berdering dan membuat gadis itu mengalihkan atensi. Kontak kak Anisa terpampang jelas. Dia segera menyeret tombol hijaunya ke atas, lalu menempelkannya pada telinga.
"Reha udah mau pulang, Teh," ucap Reha sebelum kak Anisa menanyakan maksudnya. Kak Anisa jadi tertawa kecil dari balik sana. Rupanya Reha sudah hapal dengan tujuannya.
"Yasudah, kamu hati-hati ya."
"Iya."
Setelah menutup panggilan kak Anisa, Reha menyampirkan tasnya ke punggung. Lalu beranjak dari kelas. Tapi langkahnya terpaksa berhenti saat Cemara tiba-tiba muncul dari ambang pintu sambil menenteng sebuah pel yang sudah dibasahi.
Dia menabrak Reha, membuat gadis itu terjatuh ke lantai. Meringis kecil karena lututnya sempat terbentur kaki meja guru. Spontan Reha membekap luka terbukanya yang mengeluarkan darah.
"Eh, sorry-sorry. Gue gak sengaja, Re," kata Cemara panik. Dia menyampirkan gagang pelnya pada dinding, lantas bergegas menghampiri Reha yang beringsut berdiri dengan hati-hati.
Kini hanya sisa mereka berdua di dalam kelas. Teman piket Cemara pulang duluan karena sudah selesai menyapu, sedangkan si gadis bermata sipit yang terakhir karena tugasnya adalah mengepel.
"Gak papa. Santai aja," ujar Reha berusaha menguasai air muka dan tersenyum bodoh. Walau sebenarnya ia merasa takut kalau lukanya berujung infeksi. Dokter Samudra sudah memberikannya antibiotik kan? Iya kan?
"Eh, berdarah lutut lo, Re."
Cemara yang menyadari lutut Reha yang berdarah, dengan sigap bergerak untuk membuka tas kuningnya yang diletakkan di atas meja guru.
Beruntungnya si ketua PMR, Haliya Maisera selalu menitip barang-barang keperluan UKS padanya. Sehingga Cemara tidak perlu jauh-jauh ke lantai gedung utama SMA Unggulan Bumi Khatulistiwa untuk mengambil kotak P3K. Dia bisa mengobati lutut temannya ini dengan tenang.
"Kaki lo ditekuk dulu, Reha."
"Gak usah," tolak Reha saat Cemara bersimpuh di depannya, hendak meneteskan obat merah ke lututnya. "Gue bisa sendiri--"
Reha menghentikan kalimatnya. Dia mengerjap. Pandangannya tiba-tiba berputar. Anemia aplastiknya kambuh lagi. Produksi darah di tubuh Reha memang terbatas, tambah mengkhawatirkan lagi kalau terjadi pendarahan seperti ini.
Cemara mendecak. Dia jadi ingat Jiya. Saudari sekaligus kakak kelasnya di SMA Unggulan Bumi Khatulistiwa itu pernah mengatakan padanya kalau Reha yang penyendiri dan tidak ingin dekat dengan siapa pun, sebenarnya mengharapkan seseorang untuk berada di sisinya. Dan membuat Cemara jadi diam-diam ingin berteman dekat dengan gadis lemah ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bitter As a Medicine [SELESAI]
Teen Fiction• Spin off Ketos Vs Sekretaris OSIS • Bisa dibaca terpisah ____ Hanya kisah picisan tentang Vino Bramantio yang menyukai seorang gadis. Ireha Zafira. Gadis manis yang sengaja dia temui di toko kue Zafiracake dengan dalih sebagai customer. Anehnya, R...