Pintu kamar berwarna biru langit diketuk perlahan. Kak Anisa yang berada di luar menarik gagang pintu begitu mendengar suara dari dalam kamar yang mengijinkannya masuk.Di dalam kamar, Reha menoleh sambil meletakkan gelas kacanya yang sudah tandas. Dia menghela napas, lalu menatap kak Anisa penuh tanya.
"Kenapa, Teh?" tanyanya. Bulir air di sudut bibirnya sedikit diseka dengan telapak tangan.
"Bisa tolong jagain toko di bawah sebentar, Dek?" pinta kak Anisa langsung ke intinya. Kak Anisa memang bukan tipe orang yang berbelit-belit kalau ingin mengatakan sesuatu. "Teteh ada urusan penting di luar," sambungnya, masih memegang gagang pintu dengan raut penuh harap.
Pakaian kak Anisa sudah rapi. Baju pink pastel berlengan panjang dan berbahan wol yang ia kenakan sangat cocok dipadukan dengan rok setinggi betis miliknya.
Entah ini pikiran Reha yang terlalu merujuk ke novel-novel yang ia baca, tapi melihat gelagat dan penampilan kak Anisa, sepertinya Reha sudah bisa menebak bahwa kakak angkatnya ini berencana untuk menemui seseorang.
"Hm, bisa kok."
Sebenarnya banyak yang ingin Reha katakan pada kakaknya ini, namun bibirnya hanya berhasil mengatakan dua kata itu.
Kemudian Reha berdiri dari posisinya dengan perlahan. Sedikit mengerjap untuk membiaskan penglihatannya yang berputar, lalu mulai melangkah. Sementara kak Anisa, wanita itu tersentak dan segera maju untuk memegang Reha yang tampak sempoyongan.
"Baik-baik aja, Dek?"
"Iya." Reha beralih menatap kak Anisa. "Reha baik-baik aja. Bisa jalan sendiri," jawab Reha dingin sambil melepaskan tautan kak Anisa dan berjalan lebih dulu.
Setibanya di depan toko kue miliknya, kak Anisa menoleh pada Reha dan mengimbuh, "Kalau ada apa-apa, telpon Teteh segera. Oke?"
Tidak bersuara, Reha hanya menjawab dengan anggukan pelan, membuat kak Anisa merasa bersalah kalau meninggalkannya sendirian di sini. Ingat bahwa beberapa waktu yang lalu, adiknya ini menangis di tangga. Sedikit ragu melangkah, kak Anisa menoleh pada Reha yang terlihat melambai kecil padanya.
"Reha, mau titip sesuatu?" tanya kak Anisa. Dia kembali mendekat dan mengusap-usap punggung adik gadisnya itu. "Teteh beliin makanan ya? Atau minuman? Novel?"
Pertanyaan beruntun kak Anisa membuat Reha mendengkus sebal. "Enggak usah. Udah sana pergi cepetan. Nanti kak Arvi nunggunya kelamaan."
"Loh?" Kak Anisa membeo, "tau dari mana kalau Teteh mau ketemu Arvi?" tanyanya cepat.
Reha tidak menjawab. Memilih menarik tangan kak Anisa secepat mungkin, membuat kak Anisa terseok begitu saja hingga ke depan trotoar jalan.
Kebetulan ada taxi yang melintas dari sisi kanan jalanan. Reha segera mengangkat tangan untuk memberinya isyarat agar berhenti. Sedikit melonggokkan kepala pada kaca taxi yang terbuka, Reha berucap, "Kafe Orion di jalan Edeleeir ya, Pak."
Mendengar kalimat itu, kak Anisa menoleh cepat pada Reha. "Kok--"
"Masuk gih, gak usah banyak tanya," potong Reha segera, seakan tidak membiarkan kak Anisa bertanya padanya. Memaksa kakak angkatnya tersebut duduk di jok belakang. Bahkan tidak ada sedikit pun kesempatan bagi kak Anisa untuk berbalik badan dan bertanya lebih lanjut padanya.
"Tunggu sebentar, Pak," cegah kak Anisa saat supir akan melanjukan taxi. Dia segera menoleh pada Reha. Gadis itu masih berdiri di sisi trotoar, menatapnya bingung.
"Dek, tetap semangat ya. Teteh janji bakal berusaha semaksimal mungkin bantuin kamu supaya sembuh, jadi kamu juga harus optimis ya? Nangis itu wajar, tapi jangan meratapi terus-menerus." Tangan kak Anisa terulur melewati jendela mobil untuk mengusap kepala sang adik sambil tersenyum tulus. "Kamu senyum ya, bahagia. Tuhan selalu bersama hamba-Nya yang sabar."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bitter As a Medicine [SELESAI]
Teen Fiction• Spin off Ketos Vs Sekretaris OSIS • Bisa dibaca terpisah ____ Hanya kisah picisan tentang Vino Bramantio yang menyukai seorang gadis. Ireha Zafira. Gadis manis yang sengaja dia temui di toko kue Zafiracake dengan dalih sebagai customer. Anehnya, R...