23 || Flutter

76 25 45
                                    

Part 23 - Flutter

****

Membulatkan mata tidak percaya, Reha menghentikan langkah di ambang gerbang sekolah dengan raut muram. Celangak-celinguk mencari keberadaan si bendahara kewirausahaan, namun bukannya Deno, gadis itu malah bertemu bendahara yang lain di sana.


Iya, si bendahara OSIS.

Sial. Dia lagi, dia lagi. Reha malas menanggapinya, apalagi setelah kejadian tadi pagi.

"Kok malah lo?" Reha menyergah begitu saja, menghampiri Vino yang terlihat gigit-gigit kuku entah memikirkan apa. Membuat pemuda itu tersentak dan menoleh padanya. "Kak Deno mana?"

Vino tersenyum sendu. Kak Deno ya.

Baru kali ini ia menciut hanya karena tidak dipanggil pake sebutan 'kak' oleh adik kelas merasa terdiskriminasi.

Menghela napas, segera Vino menguasai diri dan menjawab ringan. "Tiba-tiba dia sakit perut. Kebetulan gue ada di stan KWU, jadi minta tolong ke gue buat gantiin." Vino terlihat menyembunyikan tangannya ke belakang, diam-diam berbohong. Hasil dari rencana Delima waktu itu sampai-sampai Deno dan Jiya ikut terseret ke dalamnya.

Mau bagaimana lagi, Vino juga tidak tau harus menggunakan alasan apa agar bisa bertemu dengan Reha, sekaligus meminta maaf dengan bersungguh-sungguh padanya.

Kenapa sih rumit banget cuma karena pengen ketemu?

"Oh, gitu." Reha mengangguk singkat, percaya begitu saja. "Oke."

Mereka diam di tempat masing-masing. Tanpa kata, hanya menatap lurus halte bus yang ada di depan sekolah dengan perasaan canggung. Vino belum menunjukkan tanda-tanda akan beranjak dari depan gerbang, membuat Reha menghela napas pasrah karena memang tidak tau letak rumah waketos ada di mana.

"I'd like to opologize, Re."

Reha menggulirkan bola matanya, melirik Vino yang baru saja melontarkan kalimat setelah beberapa saat membisu. Dia yang tadinya sudah berencana menyemprot pemuda di sebelahnya ini jadi merapatkan bibir, mengerti ke mana arah pembahasan cowok itu.

Tidak ada umpan balik. Vino membasahi bibir bawahnya, meyakinkan diri untuk menatap Reha dalam dan penuh penyesalan. Tangannya terulur lambat, berniat meraih jemari Reha dengan hati-hati. Gadis itu hendak menepisnya, namun entah kenapa merasa ragu.

Akhirnya Reha tertegun sendiri ketika cowok yang sudah berhadapan dengannya ini berhasil menggenggam kedua tangannya dan berkata, "Re, maaf kalau rasa ingin tau gue malah bikin lo sakit hati."

Masih di tempatnya, Vino mengambil napas dan menghembuskannya pelan. Terlihat jelas ia sedang memilah-milah kalimat agar gadis di depannya itu tidak kembali tersulut. Vino tidak ingin mengulang kesalahan yang sama.

"Gue gak maksud buat nyakitin lo, maaf karena gue udah kelewatan," ucapnya rendah dan terdengar penuh penyesalan. "Tolong jangan marah ke gue. Janji bakal introspeksi diri."

Reha menipiskan pandangan. Yang harusnya introspeksi diri bukan Vino, tetapi dirinya. Selama ini, ia sudah banyak berlaku kasar padanya, tapi pemuda itu tidak pernah terlihat tersinggung. Dia selalu sabar dan menyambutnya riang, meski terkadang sikapnya juga membuat Reha ingin mematahkan tangannya karena seenak jidat menggenggamnya seperti sekarang.

Eh.

Vino menggenggam tangannya sejak tadi, tapi kok Reha diam saja?

Refleks gadis itu menarik tangan dan menyembunyikannya ke belakang. Termundur beberapa langkah agak menjauh dari posisi Vino. Mendadak ia merasa gugup dan jantungnya malah berdetak lebih cepat dari biasanya.

Bitter As a Medicine [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang