14 || Simbiosis Parasitisme

131 47 49
                                    


"Reha!" pekik kak Anisa, terkejut bukan main begitu masuk ke kamar B18. Sampai-sampai kantong plastik berisi buah-buahan yang ia peroleh dari minimarket depan rumah sakit pun terjatuh ke lantai.

Spontan, tubuh kak Anisa bergerak masuk. Reha, lagi-lagi adik angkatnya tersebut mencoba untuk mengakhiri hidupnya. Jika tadi gadis itu gagal melompat dari atas gedung, sekarang ia berniat menyayat pembuluh nadinya.

Kak Anisa langsung menahan tangan Reha yang sudah siap mengiris pergelangan tangannya di sana. Merebut benda runcing tersebut, lantas melemparnya ke sembarang arah.

"Teteh, apa-apaan sih?!" teriak Reha. Jelas tidak terima karena kak Anisa terus-terusan menghalangi niatnya untuk mengakhiri hidup.

"Kamu yang apa-apaan!" sahut kak Anisa dengan tatapan nyalang. Bahkan sebutan adik pun sudah tidak ada di kalimatnya.

Tapi Reha tidak mengindahkan tatapan penuh kemurkaan di mata kak Anisa. Dia justru beralih untuk mengambil pecahan kaca yang dilempar tadi, namun lengannya ditarik paksa dan membuatnya meringis pelan.

"Reha, stop! Berhenti bersikap kekanakan!" tegas kak Anisa sambil mencengkram lengan kanan Reha. "Katanya kamu mau sembuh, tapi apa ini?" Suaranya kini terdengar merendah. "Semuanya sia-sia karena kamu gak mau sabar. Kamu justru--"

Kalimat kak Anisa berhenti. Sorot matanya kian memerah dan menajam, namun Reha masih tidak merespon setiap kalimat yang dilontarkan kepadanya.

Kesabaran kak Anisa sudah di ubun-ubun. Dia mengepalkan tangan. Kini benar-benar telah tersulut emosi. Mau berapa kali lagi ia akan menahan sikap keras kepala dan egois adiknya ini?

Padahal kak Anisa sudah berkali-kali mengatakan bahwa ia akan berusaha sekuat tenaga untuk mengobatinya. Bahkan Reha tidak tau kalau saat ini, kak Anisa tengah berjuang untuk menemukan keluarga kandungnya.

"Sia-sia organnya Papa didonorin ke kamu," cetus kak Anisa sinis. Dia menghempaskan kasar tangan Reha. Melengos sembari menahan air matanya yang hendak keluar.

"Andai Teteh tau kalau kamu bakal sia-siain hidup kayak gini, Teteh gak akan pernah ijinin Papa donorin ginjalnya buat kamu! Biar kamu meninggal dari dulu aja, biar Teteh gak punya siapa-siapa lagi di dunia ini," ungkap kak Anisa, jelas menyinggung kejadian tiga tahun lalu. Tepatnya ketika sang ayah akan menghembuskan napas terakhirnya.

Lalu, setetes, dua tetes, dan tiga tetes air mata akhirnya jatuh seperti hujan deras. Dalam sekejap membasahi kedua pipi Reha yang awalnya mengering. Sebuah kebenaran yang tidak pernah ia ketahui, hari ini diungkap dengan kalimat yang begitu menusuk. Membuat hati Reha mencelos seakan tercabik-cabik dari dalam.

Tungkai gadis itu melemas seketika. Tidak mampu lagi menopang tubuhnya yang digerogoti penyakit, Reha mengenyak. Jatuh terduduk di sisi ranjang rumah sakit dengan tangisan penuh ratapan. Terdengar begitu pilu, hingga membuat seorang pemuda yang sedari tadi berdiri di luar--memilih tidak ikut campur--pun ikut merasakan kepedihan yang dirasakannya.

"Kenapa Teteh gak ngomong dari dulu? Kenapa bohong? Apa alasannya?" berondong Reha nelangsa. Banyak pertanyaan mencuat di benaknya kini. Dia bahkan tidak pernah mengira bahwa yang mendonorkan ginjal padanya tiga tahun lalu adalah ayah angkatnya sendiri.

Selama ini, yang Reha tau hanyalah ayah angkatnya tersebut telah kembali ke Ibu Pertiwi karena sakit jantung yang diderita sepeninggal sang istri. Begitulah yang kak Anisa katakan saat Reha baru saja siuman selepas operasi transplantasi ginjal, sebagai akibat dari donor ginjal yang ia jalani beberapa tahun silam.

Namun hari ini, kak Anisa mencetuskan hal yang benar-benar menjadi pukulan telak bagi Reha. Sebuah kebenaran yang membuat gadis mungil itu tampak seperti parasit bagi keluarga kak Anisa. Lantas, hari ini berencana mengakhiri hidup begitu saja setelah menerima kemurahan hati dari Daud Al-Zafir--ayah angkatnya?

Bitter As a Medicine [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang