Malam berganti pagi. Perlahan matahari menyingsing ke belahan bumi bagian timur. Bersamaan dengan itu, jalanan mulai dipenuhi kendaraan beroda dua maupun empat.
Tentunya masing-masing dari mereka sudah mengantongi sebuah tujuan, begitu pula dengan pemuda berhelm hitam ini. Vino mendecak, baru saja menghentikan motornya karena menemui kemacetan parah di depannya.
Sesekali Vino mengangkat tangan kanannya untuk melihat jam yang melingkar di pergelangannya, lalu meruntuki diri sendiri. Waktu hampir menunjukkan pukul setengah tujuh, sementara ia belum juga sampai di sekolah.
"Ck, apa gue bolos aja?" Vino mulai bermonolog. Bola matanya bergerak sembari menimbang-nimbang keputusannya. "Enggak deh. Nanti duit iuran OSIS mandek. Kan gue mau nagih tiap hari." Vino mengangguk-angguk sambil mengimbuh, "Hm ... gue memang bendahara yang kompeten--"
"Woi, jalan! Lu kata jalanan ini punya sesepuh lu!"
Salah satu pengendara mobil yang berada di belakang motor Vino, memerotes. Klaksonnya terdengar penuh murka, bahkan mengiringi setiap kata yang ia lontarkan pada pemuda itu.
Vino yang belum sempat menyelesaikan pujiannya pun mencibir, lantas menoleh ke belakang dan tersenyum mengejek. "Punya Bapak saya, Om!" sahutnya yang kemudian segera menarik gas sebelum pria bertopi hitam tersebut memakinya kembali.
Beberapa menit berjuang di jalanan yang padat, akhirnya motor si bendahara OSIS pun tiba di parkiran sekolah. Walau harus dengan embel-embel mendorong motor sebagai hukuman karena terlambat datang ke sekolah. Ditambah Vino juga harus naik ke ruang BK untuk mengambil kembali kunci motornya yang dijarah oleh Diki Mekatama, si ketua sekbid keamanan dan tata tertib sekolah.
"Cemaraaaa," panggil Vino sok akrab begitu mendapati si gadis tanpa lipatan mata tersebut. Sama seperti Vino, Cemara di sini untuk mengambil kunci motornya. Tapi terpaksa memutar bola matanya malas saat bertemu Vino yang baru saja keluar dari ruang BK.
"Apa?" sahut Cemara galak, membuat gadis yang berdiri di sisinya sedikit merapat dan mencubit lengannya.
Ankara Pratiwi memang seperti itu. Kalau ada cowok, mau dia berisik ataupun tidak punya malu, Tiwi pasti membelanya. Katanya yang penting itu ... good looking.
"Wuidih. Calon adik ipar kok gitu sih?"
Celetukan Vino seketika membuat Cemara melotot. "Ngarep amat lo. Kak Jiya aja nganggep lo temen doang. Kasian kena friendzone," hinanya.
Vino mencibir saja. Andai Cemara itu laki-laki, mungkin sudah Vino ajak adu tinju di tengah lapangan. "Btw, Reha udah masuk sekolah kah?"
"Dih. Temen gue mau diembat juga. Lo siapanya emang sampe nyari-nyari gitu?" tanya Cemara sambil meraih botol air mineralnya. Membuka, lalu meneguknya ganas.
Bagaimana tidak haus kalau disuruh dorong motor dari gerbang sekolah sampai parkiran. Belum lagi parkiran bagian depan sudah terisi semua sehingga Cemara harus berlabuh ke ujung parkiran yang masih kosong. Beruntungnya ada Tiwi yang nebeng, jadi Cemara tidak perlu mengeluarkan tenaga extra.
Kedua sudut bibir Vino tersenyum jahil. Dengan santai ia menjawab, "Teman hidup."
Seketika Cemara tersedak air mineral. Terbatuk-batuk hingga hidungnya terasa perih. Cemara mengumpat. Dia menoleh kesal pada Vino yang sudah tertawa tidak karuan di depannya. Begitu pula Tiwi, gadis itu segera membuka tas dan mengambil sehelai tisu dari dalam tasnya.
"Ambil, Ce," kata Tiwi sambil menyodorkan tisu.
"Dasar manusia nista," ucap Cemara sinis sambil merebut tisu yang diberikan Tiwi. Kemudian melirik Vino kesal. "Gue doain lo jomlo karatan, Vin."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bitter As a Medicine [SELESAI]
Teen Fiction• Spin off Ketos Vs Sekretaris OSIS • Bisa dibaca terpisah ____ Hanya kisah picisan tentang Vino Bramantio yang menyukai seorang gadis. Ireha Zafira. Gadis manis yang sengaja dia temui di toko kue Zafiracake dengan dalih sebagai customer. Anehnya, R...