28 || Rumor

84 18 0
                                    


Part 28 - Rumor

****

"Fideeee!"

"Gue di samping lo, Vin!"

Teriakan dari luar kelasnya, membuat Reha yang tadinya ingin menyimpan plastik berisi obat-obatnya jadi menoleh ke arah pintu masuk. Gadis itu mengerjap. Yang barusan lewat adalah Vino.

Saat Vino tanpa sengaja bertatapan dengannya, Reha mencoba mengangkat tangan ingin menyapa. Tapi ia terpaksa mengurungkan niat karena pemuda itu malah membuang muka dan menarik Fidelya agar berjalan lebih cepat, menjauhi kelas X IPS-5.

"Re, kalau gue gak salah ingat, hari itu lo bilang dirawat di RS pertiwi kan?" tanya Cemara tiba-tiba menyela, membuat Reha yang termangu jadi menoleh padanya. Gadis itu baru saja duduk di sebelahnya sambil meletakkan proposal bazar di meja Reha.

"Iya," jawab Reha pelan. "Kenapa?"

"Kayaknya lo harus pindah gak sih?" Cemara agak merapatkan diri. Sesaat menoleh sekitar, lantas kembali menatap Reha dengan serius. "Mm, gini. Maksud gue, RS itu gak terlalu work it kalau lo bukan pasien VIP alias orang berpengaruh atau kawan-kawannya."

Alis Reha mengerut samar, jelas kurang percaya perkataan Cemara baru saja. "Masa sih? Tapi dokter Samudra bener-bener rawat gue dengan baik kok. Susternya juga teman sekolah kakak gue, dia ramah banget."

Cemara sedikit tersentak, lalu menekan kalimatnya kian menggebu. "Dokter Samudra itu kakak ipar gue, Re. Dia wanti-wanti banget keluarga gue sama keluarga dia supaya jangan dirawat di RS tempatnya kerja. Gue bukannya suka nguping ya, ini gak sengaja dengar pembicaraan dia sama kakak gue waktu itu. Katanya ada perbedaan perlakuan di antara pasien ih, masa VIP lebih diutamakan," cerocos Cemara sebal, "Lo di kamar B18 gak?" tanyanya ingin memastikan.

"Ah, iya," jawab Reha mengangguk polos, "Kenapa kamar B18? Fasilitasnya terbilang bagus malah untuk gue yang dari keluarga menengah."

"HAHAHA." Cemara tertawa sarkas menahan marah, "Itu kamar buat pasien di daftar tunggu terakhir! Giliran lo gak akan pernah datang. Percaya sama gue, RS itu cuma buat orang kaya, Re."

Mendengar itu, Reha termenung jadi berpikir sesaat. Kalau langsung disimpulkan, apa yang dikatakan Cemara memang terasa seperti mengada-ada. Reha tidak ingin memercayainya, namun jika dipikirkan baik-baik malah membuatnya gusar.

Kalau Reha ingat-ingat ke belakang, di saat dirinya hendak mengakhiri hidup, staff rumah sakit terlambat bergerak bahkan tidak ada yang menindak lanjuti keadaan psikis dirinya saat itu, selain pemberian obat penenang. Setelah itu mereka menghilang seakan ditelan bumi, padahal Reha melakukan percobaan bunuh diri dua kali di hari yang sama.

"Masa sih ada rumah sakit yang sistemnya bobrok kayak gitu di zaman kayak sekarang, Ce?" Reha masih skeptis, belum ingin percaya sepenuhnya.

"Ada, Re. Tempat kakak ipar gue kerja buktinya," sahut Cemara sangat yakin.

Ah, mungkin karena alasan inilah dokter Samudra memberi saran kepada kak Anisa untuk mencari Zayyan? Biar transplantasi Reha cepat terealisasi karena dari rumah sakit sangat kecil memberikan kesempatan. Sekarang ia mulai berpikir untuk menjadi detektif dadakan dan mencari tahu kebenarannya saat itu juga.

"Saran gue, lo secepatnya pindah berobat dari RS itu," lanjut Cemara, bahkan ia terlihat seperti orang yang tidak segan untuk memaksa Reha jika gadis itu tidak mengindahkan kalimatnya.

Bitter As a Medicine [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang