[17] Why?

188 62 30
                                    

"Apa kabar?"

Lidah Yoongi terasa kelu begitu mendengar suara Jiae. Kali ini bukan lewat tulisan, bukan pula panggilan suara, tapi secara langsung. Akhirnya.

Setelah berminggu-minggu berada di situasi perang dingin, akhirnya mereka bisa menyempatkan waktu buat ketemu. Gak penting gimana ceritanya awalnya, yang penting adalah apakah mereka bisa menyelesaikan benang kusut itu hari ini.

"Baik......kamu gimana?"

"Baik."

Keduanya duduk di bangku penonton pinggir lapangan olahraga milik Universitas. Obrolan mereka sesekali diinterupsi oleh suara mahasiswa Keolahragaan yang sedang berlari mengelilingi lapangan.

"Selama ini kamu kemana?" tanya Jiae tanpa basa-basi. "Dan kenapa?"

Yoongi menundukkan kepalanya, menatap sepasang sepatunya yang mulai bernoda di beberapa sisi, sebelum akhirnya mengangkat kembali kepalanya dan menjawab.

"Maaf, Ji."

"Aku gak butuh permohonan maaf, Yoon. Percuma kamu maaf-maaf tapi gak ngasih tau buat apa," tukas Jiae. "Kenapa? Aku ada salah? Atau kamu capek karena banyak kerjaan? Atau kamu capek...."

Jiae menoleh, "....kamu capek sama aku?"

Oh, God.... if only Yoongi knows how hard it is for her to say this.

Yoongi membalas tatapan mata Jiae dengan raut wajah yang sulit diartikan. Also if only Jiae knows how chaotic his mind right now.

Mereka saling memandang beberapa saat sebelum akhirnya Jiae memalingkan wajahnya lebih dulu. Gadis itu tidak mau menampakkan kedua matanya yang sudah dipenuhi air mata, dan tetesan itu bisa jatuh kapan saja.

"Aku bingung harus gimana," kata Yoongi pada akhirnya. "Aku gak tau ini apa dan kenapa..."

Jiae masih diam.

"Akunya emang lagi capek terus jadi overthinking atau memang..." Yoongi menghela nafas sejenak. "The sparks aren't there anymore."

"Tapi aku," suara Jiae tercekat. "Aku juga capek mikir sendirian tanpa tau apa-apa, dan sekarang? Kamu mau nyudahin semuanya tanpa mempertimbangkan perasaan aku?"

"Kapan aku bilang mau udahan?" tanya Yoongi.

"You said that the sparks aren't there anymore, Yoongi...." jawab Jiae.

Hampir saja mereka berhasil. Hanya sekali tarikan lagi, benang kusut itu akan berlepasan. Namun Jiae terlalu kalut dalam emosinya dan menambah runyam keadaan.

"Setelah apa yang kamu bilang di Ruang Panitia waktu itu, kamu pikir aku gak overthink? Kamu pikir cuma KAMU yang tersiksa?"

"Ji—"

"Or perhaps... you fall for someone else?"

Yoongi meremas rambutnya pelan lalu menghembuskan nafas dengan penuh kekesalan.

"Aku gak pernah nyinggung soal orang lain, dan kamu main ambil kesimpulan sendiri," balas Yoongi. "Aku jujur supaya kita bisa nyari jalan keluar, Jiae. Bukan buat DITUDUH kayak gini."

"AKU GAK NUDUH!"

"Terus apa?" Yoongi berusaha mengatur nada bicaranya agar tidak kelepasan membentak Jiae. Padahal nggak bisa dipungkiri, emosinya sedang memuncak.

Jiae pun sama. Dia juga emosi sekaligus sedih. Harapannya, pertemuan kali ini bakal menjadi momentum berakhirnya perang dingin di antara mereka. Ternyata malah makin rumit.

The Guy Next DoorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang