[21] T e r c i d u k

191 60 26
                                    

Yoongi nggak tau harus senang atau takut karena rencananya berjalan jauh lebih mulus dari perkiraan. Liburan semesternya benar-benar full didedikasikan untuk membantu merawat Neneknya yang sakit, dan ia hanya bisa berkomunikasi dengan Jiae lewat ponsel. Padahal biasanya kalau liburan, paling enggak seminggu sekali jalan.

Bukan salah Jiae yang pergi jalan sama orang lain, mengingat Yoongi emang ada urusan lain. Berhubung kondisi hubungan mereka lagi nggak kondusif, rasanya jadi beda. Situasi makin parah karena satu kejadian kemarin.

Yoongi mencoba ngajak Jiae pergi, tapi jawabannya adalah:

Maaf Yoon, aku ada janji sama kak seokjin

Oke, Yoongi coba "maksa" Jiae dengan bilang kalau dia bakal nyusul. Atau keluarnya agak sorean, soalnya Jiae kan janjiannya siang. Gak perlu lama, Yoongi cuma pengen ketemu.

Respon Jiae apa? Benar, ditolak. Dengan alasan mending nanti aja ketemu di Kampus waktu minggu awal perkuliahan. Kan belum ngapa-ngapain tuh, kelas selesai cepat karena cuma ngomongin kontrak kuliah. Sangat mengada-ada, tapi Yoongi hanya bisa mengiyakan.

Padahal alasan Jiae yang sebenarnya adalah, dia takut kalau Yoongi ngajak ketemu itu buat putus. Sekarang roda berputar, justru Jiae yang lari dari masalah.

Kalau gini terus kapan selesainya??? Saya yang nulis juga capek woy.

Dan yang namanya godaan setan selalu datang di saat yang tepat. Ketika Jiae menolak, maka disitulah Flo datang. Kali ini dia menghubungi Yoongi dengan sebuah pertanyaan sederhana,

Rekomendasi kamera yang cocok dibawa travelling dong?

Well, the game already started. Kenapa gak sekalian aja Yoongi menawarkan diri buat nemenin Flo nyari kamera?

Sama halnya dengan Jiae yang sekarang lagi menikmati semilir angin dan seporsi tahu telor di bawah rindangnya pohon.

"Inget ya A', lo hutang banyak cerita. Yang kemarin belum tuntas."

"Cerita apaan lagi?"

Jiae pergi makan berdua sama Seokjin sebelum mereka sibuk dengan urusan kuliah masing-masing. Apalagi Seokjin kuliah di luar kota, jarang pulang karena sibuk bimbingan.

"Yaudah gue nanya aja kalau gitu," kata Jiae sambil mencolekkan krupuknya ke bumbu. "Kenapa lo nyerah gitu aja?"

Seokjin mengangkat kedua alisnya lalu tertawa pelan.

"Kalau kata Raisa mah, bukannya aku mudah menyerah, tapi bijaksana," jawabnya. "Apa sih yang bisa lo pertahanin dari sebuah hubungan yang udah jelas bakal kandas?"

"Tapi kan jodoh gak ada yang tau, A'?"

"Memang. Makanya kan gua putus sama dia, soalnya dia mau nikah sama orang lain. Dia udah nemu jodohnya."

Seokjin meneguk minumannya sebelum melanjutkan.

"Awalnya kan kita masih mau nyoba bertahan, tapi akhirnya gagal. Yaudah, gue bisa apa? Mending putus terus nangis seminggu, daripada bertahan tapi makan hati bertahun-tahun."

Ucapan Seokjin barusan berhasil menampar Jiae. Walaupun putra sulung keluarga Kim itu belum tahu tentang permasalahan Jiae, tapi kata demi kata yang terlontar dari mulutnya seolah memang ditujukan pada Jiae.

"Emang berat, apalagi lo tau sendiri gue sama dia bukan sebulan dua bulan. Hampir 4 tahun, atau malah hampir 5 tahun ya? Poho aing (lupa)."

Seokjin tertawa pelan, tak menyadari ekspresi lawan bicaranya yang sudah berubah masam. Kemudian ia melanjutkan,

The Guy Next DoorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang