Happy reading~
.
.Patah hati, adalah hal yang sangat menyakitkan.
Itu seperti saat kau kehilangan sesuatu yang telah terbiasa dan menjadi bagian dirimu, namun tiba-tiba, ketika kau membuka mata sesuatu itu lenyap tanpa jejak, selain meninggalkan kehampaan dan lubang yang mengaga dalam dirimu.
Dan meski sebagian orang mengatakan bahwa waktu bisa menyembuhkan segalanya, bagi Wei Wuxian sendiri itu hanyalah ungkapan basi.
Karena nyatanya, bahkan setelah tiga tahun berlalu rasa sakit itu masih berasarang didalam hatinya.
Ia tak pernah merasa sembuh dari fase patah hatinya.
Honk!
Klakson panjang dari kereta api yang hendak berhenti distasiun selanjutnya bergema nyaring. Namun Wei Wuxian tak sekalipun bergeming melainkan tetap memaku pandangan pada jendela besar disampingnya, menatap jajaran pohon pinus berselimut salju yang bergerak kian melambat seiring laju kereta yang hampir sampai disebuah stasiun kecil dipinggir kota.
Ia mencoba melupakan rasa menyayat yang terkadang datang dengan tiba-tiba, bersama memori yang pernah membuatnya bahagia, namun kini harus ia kubur dalam-dalam.
Karena, sampai kapanpun ia tak akan pernah bisa mengulangnya lagi.
Srak
Gesekan fabrik dan busa kursi yang tertimpa beban menarik Wei Wuxian dari lamunan dangkalnya, ia memejamkan matanya selama beberapa saat, sekedar untuk menarik napas dan membuang beban yang terasa menghimpit perlahan-lahan. Iris abunya melirik pada kursi yang sebelumnya kosong, namun kini sudah terisi sosok pria tinggi dengan mantel cokelatnya.
Kedua iris berbeda warna itu sempat bersibobrok selama beberapa detik, sebelum kemudian kembali diputus oleh pria jangkung yang telah menenggelamkan diri pada buku yang dibacanya.
Wei Wuxian mendengus kecil, membiarkan keheningan menenggelamkan keduanya dalam kebisuan yang terasa pekat. Keinginannya untuk membangun percakapan dengan teman sebangkunya telah ia kubur, karena sepertinya, dia bukan tipe orang yang suka bercakap dengan orang asing sepertinya.
Pemuda berwajah cantik itu merogoh tas kecil dipangkuannya, memutuskan untuk menemani perjalanannya yang masih panjang dengan alunan musik dari I Pod hitam kesayangannya.
Dibanding lagu yang padat akan lirik, Wei Wuxian lebih menyukai instrumen yang dirangkai dari alat musik klasik.
Seperti Tuts piano yang bertemu dengan gesekan lembut dari senar violin dan cello, kemudian melebur menjadi instrumen ballad yang menggambarkan suasana hatinya yang selalu terselubung mendung.
Hampir saja matanya terpejam akibat terhanyut oleh gesekan violin yang kian mendayu, sebelum harus kembali membukanya lebar-lebar saat tepukan halus ia rasakan dipunggung tangannya yang bertumpu diatas meja.
Ia melepaskan earphone nya dan melirik pada staff lokomotif yang entah sejak kapan berdiri disamping kursi mereka, menawarkan minuman hangat serta camilan untuk menemani perjalanan mereka yang masih tersisa puluhan kolometer.
"Coklat hangat dan red velvet." Ia menunjuk pada menu yang tersedia diatas troli.
"Selamat menikmati perjalanan anda." Ujar staff wanita itu ramah, lalu kembali mendorong trolinya menyusuri lorong gerbong yang panjang.
Kembali, dua anak adam itu disergap keheningan.
Wei Wuxian memilih menarik cangkir coklat hangatnya dan meminumnya perlahan-lahan, menahan diri sekuat mungkin untuk tidak melirik si pria tinggi yang telah menanggalkan bukunya dan kini sibuk memandang keluar jendela dengan cangkir teh yang ada dikedua tangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Chateau de Wangxian
Short Storypenggalan kisah pendek Wangxian di era modern. Alternative Universe. disclaimer: I own nothing, whole characters inside are belong to MXTX