abstrak VIII

3.6K 486 62
                                        

Baru balik setelah smedi nyari ide biat lanjutin cerita ini :v

Happy reading~

.
.

Perpisahannya dengan Wei Wuxian meninggalkan lubang tersendiri dihati Lan Wangji.

Meski pada awalnya ia menyangkal dan tetap kukuh mengejar mimpinya, pada akhirnya Wangji tak bisa lagi memungkiri jika Wei Wuxian bukanlah sekedar sosok yang hanya mampir dan bisa ia tepis dengan mudah dari hidupnya.

Lebih dari itu, tanpa pernah ia sadari, nama Wei Wuxian telah mengakar terlalu jauh dalam hatinya.

Yang ketika ia mencoba mencabutnya paksa, maka tak ada hal lain selain lubang besar yang tertinggal menganga dalam dirinya.

Ia tersesat dalam perasaannya sendiri, Lan Wangji dilinglungkan oleh pilihan yang telah ia buat dengan seluruh tekad.

Selama tiga tahun, ia mencoba berdiri tegap dalam bayang-bayang akan kerinduan serta penyesalannya untuk pemuda yang telah memberinya kebahagiaan itu. Setiap hari dirinya mencoba menghapus wajah Wei Wuxian yang selalu muncul tanpa kehendaknya.

Ini mimpinya, adalah mantra yang selalu ia rapalkan setiap kali rasa sakit menghantam dada kirinya.

Akan tetapi, seberapa banyak usaha yang Wangji lakukan untuk tetap bertahan pada pilihannya, sebanyak itu pula ia terperosok dalam kerinduan dan penyesalan yang semakin dalam.

Lan Wangji mendapati dirinya yang terpuruk kian kemari.

Ditahun keempat dalam pelariannya ia memutuskan untuk pulang.

Menemui kembali sosok yang tak pernah lelah menghantui dirinya.

Namun, bukankah kenyataan selalu selangkah lebih depan dari sebuah harapan?

Alih-alih sambutan wajah dari sosok yang telah lama ia rindukan, Wangji malah harus dihadapkan dengan sebuah fakta dimana Wei Wuxian, telah lama pindah.

Sosoknya seperti tertelan bumi.

Meski ia telah mengerahkan seluruh kemampuan dan koneksinya, dirinya tak mampu menemukan sosok yang telah memporak-porandakan hidupnya.

Wei Wuxian, telah benar-benar pergi darinya.

Atas kebodohannya sendiri.

"Kopi?"

Wangji melirik cangkir yang menguarkan aroma kafein kental, kepulan uap tipis menari-nari dari permukaan hitam pekat, seolah menggodanya untuk segera menyesap dan menikmati rasa ketir miliknya.

"Terimakasih." Katanya singkat.

Wangji mengambil cangkir itu namun tak segera menyesapnya, melainkan hanya membiarkannya tersangkut diantara jemari lentiknya sedangkan dirinya sendiri masih betah memandangi gemerlap lampu kota yang seolah tengah menantang lebam malam.

"Kau masih mencari A Xian?" Tanya sosok diaampingnya.

"Mn."

"Ini sudah bertahun-tahun, kau yakin dia masih lajang?"

Untuk pertanyaan itu, iris emasnya sedikit menimbulkan reaksi. Getaran halus tertangkap retina Lan Xichen, adiknya terlihat gelisah dalam keterdiamannya dan itu menimbulkan friksi tersendiri untuknya.

Sulung Lan menahan kedutan disuduy bibirnya.

"Entah dia masih lajang atau tidak, aku hanya berharap aku masih bisa bertemu dengannya." Katanya setelah keterdiaman yang cukup lama.

Chateau de WangxianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang