Coagulation

958 101 11
                                        

Holaa~
Lama gak main di work ini.
Enjoy and happy reading~

.
.
.

Samar-samar semburat cahaya pagi menyelinap melalui celah kecil kisi-kisi jendela kamar. Hanya dalam hitungan detik sampai partikel itu berhasil mencapai ku, mengetuk kelopak mata yang sempat ingin kembali terpejam untuk segera terbuka menyambut kenyataan.

Aku masih berbaring di ranjang, gravitasi bumi seolah enggan melepaskan ku pergi dari tempat ini. Sembari memandangi gorden tipis berwarna putih yang berkibar tertiup angin, ingatanku dibawa untuk kembali mengingat apa yang terjadi dihari kemarin, dan kemarinnya lagi, hingga seketika sebuah beban berat seperti menghantam telak dadaku, membuatku kembali meringis nyeri.

Lamat-lamat, alunan tuts piano yang ditekan ringan terdengar di telingaku. Sebuah melodi yang terdengar tak asing merayap menerobos indra pendengarku hingga membuatku terperanjat. Seakan membimbingku untuk segera bangkit dari sarang mimpi ini.

Dengan enggan aku turun dari ranjang, berjalan terseok melewati cermin besar di sudut ruangan. Sesaat, aku terdiam. Mau tak mau mengamati pantulan diriku yang terefleksi disana.

Menyedihkan.

Kenapa aku terlihat menyedihkan begini? Sejak kapan wajah dan tubuh yang biasa ku rawat menjadi terlihat mengerikan seperti ini?

Ujung jariku terangkat, menyentuh lebam yang menghiasi Pipi dan sudut bibirku. Seolah tidak cukup dengan semua lebam di wajahku, leher dan kedua tanganku bahkan terlilit perban.

Dilihat dari sudut manapun, aku pasti terlihat menyedihkan.

Akan tetapi, di atas semua itu, luka-luka ini tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan bagaimana aku bisa mendapatkan semua luka ini.

Ingatan itu terpatri jelas dalam kepalaku.

.
.
.


"Akh-“

Tiba-tiba saja rasa pusing luar biasa mencengkram kepalaku sesaat setelah aku membuka mata. Aku tidak ingat apa yang sebelumnya terjadi, tapi aku merasakan nyeri menghantam sekujur tubuhku. Persendian ku terasa remuk sampai rasanya tidak bisa menggerakkan seujung jari pun. Dengan susah payah, aku mengerahkan seluruh tenaga dan mencoba mendudukan tubuhku yang sebelumnya terbaring, memandangi sekelilingku untuk mengingat apa yang sebelumnya terjadi.

Akan tetapi, sejauh aku memandang yang kutemukan hanya jalanan kosong serta kepulan asap cukup tebal membumbung beberapa meter di hadapanku. Karena pandanganku yang masih terasa kabur, aku tidak bisa memastikan apa yang ada di depan sana. Ingatanku pun masih samar-samar.

Saat merasakan cairan merah yang menetes dari pelipis, sedikit banyak aku paham. Mungkin aku mengalami geger otak karena benturan.

Dengan susah payah aku mencoba berdiri sambil bertumpu pada lengan, seketika rasa sakit dan ngilu luar biasa menjalar. Aku bisa merasakan tulangku yang patah namun ku abaikan. Sambil meringis, sekali lagi mataku berputar menyisir kawasan itu namun masih nihil. Di jalanan seluas ini, anehnya tidak ada kendaraan lain yang berlalu lalang. Dengan tertatih aku berjalan ke arah kepulan asap. Semakin dekat, jantungku bertalu kian cepat. Bersamaan dengan kilasan ingatan yang berkelebat bagai potongan puzzle yang akhirnya mulai tersusun hingga membentuk kilas balik pada momen sebelum semua ini terjadi.

Pada saat itu, jantungku terasa mencelos. Aku menyeret langkahku kian cepat untuk mencapai sumber kepulan asap. Hingga akhirnya aku bisa melihat sebuah mobil SUV berwarna hitam yang telah ringsek di beberapa sisi dalam posisi terbalik. Itu adalah mobil yang sebelumnya aku tumpangi bersama Lan Zhan sebelum kemudian tergelincir lalu menghantam beton jalanan. Beberapa bagian telah hancur mungkin karena tergerus aspal, juga pecahan kaca yang berserakan hingga kedalam mobil.

Chateau de WangxianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang