Happy Reading All!
"Dan sekarang, aku mau kamu tau perasaan aku. Aina, udah lama aku suka sama kamu, dari kecil. Mungkin emang gila kalo anak kecil udah punya rasa cinta, aku sayang sama kamu sejak dulu. Beberapa Minggu lalu aku tau kamu sekolah di sini, rasa yang dulu pernah aku gugurin kembali lagi, Na. So, kamu mau jadi pacarku?"
"Sebelumnya makasih banget, Dam lo udah sayang sama gue. Tapi sorry, gue gak ada rasa sama lo. Gue udah anggep lo kakak gue sendiri, sekali lagi gue minta maaf ya." Aina melepaskan tangannya dari genggaman Damian, dia merasa tak enak setelah mengatakan kalimat tadi, tapi jujur lebih baik.
Aina bangkit, menepuk rok belakangnya yang kotor. "Gue balik dulu ya, Dam. Maaf gak bisa bales perasaan lo. Makasih udah mau nemuin gue," ucap Aina sebelum pergi.
"Tunggu, Na!"
"Setelah ini anggep aja gue gak pernah ngomong kayak gitu ya, maaf jadi buat suasananya jelek. Gue harap kita masih bisa temenan." Damian tersenyum ketika melihat Aina mengangguk pasti.
"Boleh peluk lo? Sekali aja?" pinta Damian.
Gimana nih?
Cuma sekali kan?"B-boleh."
Damian langsung memeluk Aina erat, menumpukan dagunya di bahu Aina.
Aina berharap temannya semasa kecil ini dapat menemukan pasangan yang baik.
"Saya salah nyari kamu," gumam seseorang.
🦂🦂🦂
"Bapak kenapa?" tanya Aina.
"Tidak."
Dari jawaban tersebut Aina sudah menyimpulkan bahwa ada sesuatu yang terjadi.
Sesuatu yang salah.
Maybe.
"Cerita aja, Pak kalo lagi ada masalah," bujuknya.
"Bukan apa-apa."
Ilham tampak banyak berpikir, tentu saja, perempuan yang dia cintai terciduk tengah berpelukan dengan seorang lelaki?
Bisa dibayangkan bagaimana perasaannya?
"Pak, jangan diem-diem gini dong, biasanya Bapak banyak ngomong lho. Ada apa sih?"
Ck! Pura-pura enggak tahu.
"Kamu itu yang kenapa?! Kenapa mesra-mesraan sama orang lain padahal kamu sendiri udah punya pasangan." kalimat itu hanya dapat Ilham ucapkan dalam hati.
"Tidak ada." dua kata inilah yang terus keluar dari mulut Ilham.
Dia tak tahu harus berbuat apa, bertanya pun sepertinya bukan waktu yang tepat.
"Terserah Bapak deh!"
Kenapa jadi dia yang marah?!
Bukankah seharusnya dirinya yang berhak marah?
🦂🦂🦂
"Eh, Nak Ilham mari masuk, biar Bunda buatkan teh dulu."
"Enggak usah repot-repot, Bun, Ilham langsung saja. Masih ada pekerjaan yang mendesak," kilah Ilham sambil meringis tak enak karena menolak tawaran calon mertuanya.
"O-oh begitu, ya sudah besok-besok mampir ya." langsung saja di angguki Ilham.
Laki-laki itu pergi, sedangkan Liana tengah memperhatikan anaknya ini.
"Kalian lagi berantem?"
"Gak tau tuh Pak Ilham, gak ada angin gak ada hujan tiba-tiba berubah gitu," keluh Aina.
"Masa sih? Kamu kali bikin kesalahan, gak mungkin kan Nak Ilham langsung berubah gitu?" ujar Liana.
"Coba bangun komunikasi yang lebih baik, kalo ada apa-apa dibicarakan dengan baik, jangan saling mementingkan emosi. Coba sekarang giliran kamu yang mulai pecahin masalahnya, tanya baik-baik, kenapa, ada apa, apa yang salah. Pasti nanti bisa selesai, Bunda ke belakang dulu ya," pamit Liana.
"Komunikasi," gumamnya.
Aina langsung ngacir ke kamarnya, merebahkan dirinya. Dia butuh otak yang dingin untuk menyelesaikan sebuah permasalahan.
"Butuh penyegaran, mandi!" tanpa banyak berpikir, Aina menyambar handuknya kemudian masuk ke kamar mandi, mulai membersihkan tubuhnya.
🦂🦂🦂
Sudah 2 hari Aina belum berbicara langsung dengan Ilham, bukan karena dia tak mau, tetapi karena Ilham tengah sibuk dengan hasil UAS siswa-siswi.
Mereka bahkan jarang bertemu akhir-akhir ini, membuat Aina merasa tak nyaman.
"Halo, Pak?" sapa Aina dibalik teleponnya.
"Ya?"
"Bapak ada waktu gak? Cuma sebentar kok."
"Saya sedang sibuk Aina, mungkin lain kali," jawab Ilham di sana.
"Ya udah deh." Aina memutuskan sambungan telepon.
Ini hari Minggu, tapi laki-laki itu tetap tak memiliki waktu barang sebentar saja.
"Dan, gimana nih?" Aina merengek kepada Dani. Ya, laki-laki itu sedang bermain ke rumah Aina. Numpang makan lebih tepatnya.
"Lah mana gue tau, lo bikin salah apaan emang?" tanya Dani sambil memasukkan beberapa butir ciki.
"Gue juga gak tau! Tiba-tiba aja berubah gitu."
"Berubah sejak kapan?"
"Sejak-- itu lho yang gue pamit ke lo mau ke taman sebentar. Mau temuin orang," balas Aina.
Dani yang tadinya tidak mau ambil pusing urusan Aina, kini mulai tertarik.
"Oh iya, waktu itu Pak Ilham tanya gue, lo kemana terus gue jawab aja ke taman. Lo gak ketemu dia?"
Mata Aina seketika membulat.
Tunggu!
"Gue gak tau, tapi kita pulangnya bareng."
"Lah terus?"
Jangan-jangan Pak Ilham liat gue lagi sama Damian? - batin Aina.
Mati gue kalo Pak Ilham liat gue pelukan sama Damian, tapi kan cuma temen. Tapi kalo dia salah sangka gimana? - batin Aina kembali bersuara.
"Dan..." lirih Aina, pikirannya melayang kemana-mana. Takut-takut Pak Ilham salah paham.
"Temuin aja langsung, gak usah bilang-bilang. Habis itu ajak ngobrol, tanyain masalahnya apa sampai diemin lo beberapa hari ini, lo juga pikirin kesalahan apa yang lo buat," saran Dani.
"Aaaa... Makasih Dani unch! Tumben pinter," ledek Aina sambil terkikik geli.
"Dih, udah untung gue kasih saran!"
"Iya-iya. Makasih banyak ya boss!"
To Be Continue!
KAMU SEDANG MEMBACA
AINA FAJ'RI ✓
Teen FictionAina Faj'ri, seorang perempuan yang gemar sekali tertidur di kelas. Karena hobinya itu dia kerap kali dihukum oleh gurunya namun, itu tak membuatnya kapok. Hingga semua dimulai saat ia bertemu dengan seorang guru saat hendak membeli barang. Dari sit...