Gue udah ada yang nungguin, lo pada ada yang nungguin gak?
Aina Faj'ri
Aina menghampiri Dani yang ia tinggalkan di sofa ruang tamu, tapi kok ramai banget ya kedengerannya?
Watepak!
Ini kenapa sih? Gue halu apa gimana? Kenapa di ruang tamu, di sebelah kanan Dani ada Pak Ilham?
Mata gue burem apa gimana sih? Kan tadi jelas-jelas dia udah pulang, kenapa bisa di sini?
"Dan?! Yok makan," ucap Aina berlalu ke meja makan tanpa mau mengetahui lebih jelas apa yang dia lihat tadi. Yang di pikirkannya tentang apa yang di lihat tadi adalah halu.
"Na, ada Pak Ilham nih!"
Lho eh?!
Beneran tho?"Bapak ngapain di sini?"
"Saya gak boleh ke sini?" balas Ilham.
"Bo-boleh siapa yang ngelarang."
"Aina! Itu Nak Dani sama Nak Ilham di ajak makan," teriak Liana.
"Iya, Bun!"
"Em, Pak, Dan, makan dulu." Dani dan Ilham mengangguk.
Mereka bertiga makan dengan diam, tidak ada yang berbicara.
Setelah makan, mereka kini berada di ruang keluarga Aina. TV menyala tapi mereka bertiga tidak benar-benar menontonnya, mereka sedang berada di pikiran mereka masing-masing.
"Na, ceritain sekarang dong. Gue gak bisa lama-lama," ucap Dani. Nih anak lagi bego apa gimana sih, udah tau topik yang mau di ceritain itu pak Ilham. Dan orangnya ada di sini, dia mau di santet ya.
Aina melirik Ilham, semoga saja Dani sadar.
"Kalo mau ngomong sesuatu, ngomong aja. Saya bisa jaga rahasia kok." watepak!
Huaaaa ini gimana? Apa gue bilang sama Dani aja ya kalo ceritanya lain kali. Tapi kan janji gue tadi hari ini. Duh!
"Cepetan, Na!"
"Besok aja deh, Dan."
"Kenapa sih? Kan janjinya hari ini."
"Dan, yang mau kita ceritain itu Pak Ilham dan orangnya ada di sini. Lo mau dia gibeng?" ucap Aina tanpa memperdulikan keberadaan Ilham lagi, dia sudah terlanjur kesal.
Bodo amat kalo Pak Ilham bakalan marah.
"Saya?"
"Iya, Pak. Saya cuma mau tanya sama Aina, kemarin pas Aina sakit kan Bapak minta alamat Aina ke sekretaris buat apa? Terus tadi Bapak perhatian banget sama Aina, minjemin helm ke Aina dalam rangka apa? Hubungan Bapak sama Aina itu sebenernya apa? Kan saya penasaran."
"Dan, besok gue bakalan bawa golok siap-siap ya," ucap Aina.
Terlihat Ilham tertawa dengan apa yang di katakan Dani. To the point sekali.
"Saya berniat serius dengan Aina. Dan saya sudah bicara kepada orang tua Aina, alhamdulilah Ayah dan Bunda Aina sangat mempercayai saya bahwa saya tidak akan menyakiti putri beliau."
"Dan untuk kejadian tadi siang, tentang helm. Sebenarnya saya berniat mengajak Aina pulang bersama, tapi sudah keduluan kamu. Saya lihat Aina tidak membawa helm jadi saya berikan saja helm yang saya bawa, yang sebenarnya memang untuk Aina," lanjutnya.
"Jadi Aina sama Bapak pacaran?" lemes sekali mulut mu Dani, ingatkan Aina untuk membalaskan semua pertanyaan Dani besok.
"Gak pacaran juga kali, Dan," balas Aina cepat.
"Gue nggak nanya sama lo, jadi diem aja!"
"Bangsat," gumam Aina pelan. Dani yang sudah terbiasa mendengar umpatan Aina tidak menampakkan ekspresi apa pun, lain dengan Ilham. Dia tampak kaget mendengar satu kata itu, salah Aina juga karena tidak bisa menahan kesalnya hingga mengeluarkan sebuah kata bermakna.
"Saya memang tidak berpacaran dengan Aina, tapi saya berniat untuk melamarnya jika Aina sudah siap."
"BAPAK GILA? SAYA GAK PERNAH BILANG IYA SAMA RENCANA BAPAK YA!" teriak Aina terkejut.
"Mulut lo toa banget sih, Na. Tanya baik-baik bisa kan!" kata Dani.
Gimana gue gak kaget?! Pak Ilham bilang mau lamar gue kalo gue udah siap, sebelumnya dia gak bilang apa-apa sama gue!
"Maksud Bapak apa?"
"Benar. Saya memang berniat untuk melamar kamu, setelah kamu siap. Saya juga sudah berbicara dengan orang tua kamu, dan beliau sudah mengizinkan saya."
"Kok gak bilang dulu sama saya?"
"Saya udah bilang, kamu juga ada di situ. Tapi kamu main hp."
Oh, macam tu? Berarti ini salah gue dong? Tapi kan seenggaknya dia ngomong lagi ke gue, empat mata.
"Kenapa gak bilang lagi sih, Pak?"
Ilham mengangkat bahunya.
"Oke, stop. Bapak sama Aina bisa bicarain ini berdua, saya mau pulang dulu. Na, gue pulang ya, udah di-sms emak," ucap Dani.
"Cepet banget, biasanya sampe malem juga di sini di bolehin Mama lo."
"Gue di suruh bantuin beli barang, soalnya di rumah mau ada arisan emak-emak rempong." Aina manggut-manggut paham.
Dani berpamitan juga dengan Ilham, setelah itu dia pergi.
"Bapak masih mau di sini?"
"Kamu ngusir aku?"
Aku? Kok gue aneh ya denger sebutan aku dari dia.
"Nggak ngusir, Pak. Cuma tanya aja, sensian ih!"
Ilham terkekeh, kemudian menepuk sofa kosong di sisinya. Aina menurut.
Njir, gue deg-deg an. Jangan-jangan-- gue punya penyakit jantung? Eaaa.
Gak lah dia gak sebego itu."Bapak yakin?"
"Yakin apa?"
"Nunggu saya siap?"
"Aku kamu, Na." Ilham mengingat kan Aina untuk mengganti panggilan mereka karena saat ini mereka hanya berdua saja. Maksudnya tidak ada warga sekolah lain yang akan tau.
"Jadi?"
"Yakin."
"Saya-- eh, aku mau kuliah dulu lho, betah nunggu selama itu?"
Astaga dia ngangguk. Gue yang gak enak, gue nggak-- belum cinta sama dia. Dia mau nunggu gue sampe selesai kuliah, padahal gue ini masih SMA.
Ntar gue selesai kuliah, dia jadi bapak-bapak dong?
Anjirrr, mikir gue yang nggak-nggak.
To Be Continue!
KAMU SEDANG MEMBACA
AINA FAJ'RI ✓
Teen FictionAina Faj'ri, seorang perempuan yang gemar sekali tertidur di kelas. Karena hobinya itu dia kerap kali dihukum oleh gurunya namun, itu tak membuatnya kapok. Hingga semua dimulai saat ia bertemu dengan seorang guru saat hendak membeli barang. Dari sit...