13 || Takut Di Grape-grape

176 76 0
                                    

Hati gue kenapa lemah banget sih kalo Pak Ilham ngomong manis.

Aina Faj'ri

"Bunda?" panggil Aina.

"Apa?"

"Emang bener waktu itu Pak Ilham minta izin sama Ayah sama Bunda buat lamar Aina setelah Aina siap?"

"Iya, mau protes? Salah sendiri gak dengerin orang bicara, malah main hp!"

"Ihh! Tapi Bunda kan bisa kasih tau Aina lagi."

"Males. Terima aja, lagian Bunda lihat Nak Ilham juga orangnya baik, bertanggung jawab, soleh. Kurang apalagi, Na yang kamu cari? Mapan udah."

"Mapan?" gumam Aina.

"Iya, selain Nak Ilham seorang guru. Dia juga punya kafe-kafe yang sering di jadiin anak muda tongkrongan sama punya tempat sablon."

"Bunda kok tau banyak sih?"

"Iyalah, Bunda sama Ayah udah selidiki Nak Ilham. Udah cocok sama kamu, jadi nanti kalo Nak Ilham lamar kamu, harus di terima ya!"

Apaan sih bunda, gue kan masih sekolah udah mikir di lamar. Gue mau kuliah, mau kerja juga. Masa lulus SMA langsung nikah kan gue gak mau.

Ini lagi Pak Ilham, bisa-bisanya suka sama siswinya sendiri.

"Nak Ilham udah pulang?"

"Belum. Masih di luar."

"KAMU TINGGAL?"

"Bunda jangan teriak ih! Aina di samping Bunda padahal."

"Sana temenin calon suami kamu!"

"BUKAN!" protes Aina.

"BELUM!" sahut Liana.

🦂🦂🦂

"Bapak gak mau pulang?"

"Kenapa kamu suka ngusir aku sih? Aku gak boleh main ke sini?"

Kok aneh ya? Telinga gue konslet apa gimana? Ngomong saya-kamu gak enak, manggil aku-kamu kayak kurang sopan. Lo-gue apalagi, auto di bunuh emak.

"Aneh gak sih menurut Bapak kalo manggilnya aku-kamu?"

"Sebenarnya cukup aneh, aku udah biasa pake saya-kamu atau nggak lo-gue kalo sama temen aku."

Hah?! Lo-gue? Jadi dia juga bisa manggil lo-gue?! What the--

"Tapi aku lagi biasain pake aku-kamu kalo sama kamu, Na."

"Kamu yakin?"

"Tentang aku nunggu kamu?"

Aina mengangguk.

"Harus aku bilang berapa kali, Na. Aku benar-benar yakin. Aku gak bakal nemuin orang tua kamu dan minta izin langsung kalo aku nggak serius."

"Tapi gimana sama orang sekolah kalo tau kita ada hubungan? Gak takut sama reputasi kamu?"

"Aku gak peduli, tapi aku yakin semua akan baik-baik aja."

"Terserah deh."

"Jangan tutup hati kamu, Na. Biarin aku kasih perhatian ke kamu, jangan kamu tolak."

"Iyaaa, bawel banget sih!" bukanya marah, Ilham malah tersenyum gemas seraya mengusap rambut Aina.

"Mau jalan-jalan?"

Aina menggeleng, dia sangat malas keluar rumah.

"Terus mau apa?" tidur. Satu kata itu seakan tercekat di tenggorokan Aina. Dia akan di cap tidak sopan oleh gurunya itu bila menjawab seperti itu.

"Gak tau."

"Ngantuk, hm?"

Akhirnya Aina mengangguk.

Ilham tersenyum tipis, dia merangkul pundak Aina. Membawa Aina ke dalam pelukannya. Kepala Aina bersandar pada dada bidang miliknya.

Aina terlihat terkejut tapi hanya sebentar, setelah itu dia merilekskan tubuh.

"Tidur aja."

"Nanti macem-macem."

"Aku gak suka nyari kesempatan dalam kesempitan."

"Selius?" ucap Aina diimut-imutkan.

"Kalo aku mau aku bisa lakuin sekarang."

"NAH KAN?!"

"Tapi aku gak mau rusak kamu. Gak pernah punya niatan buat rusak kamu."

Sedetik kemudian hati Aina menghangatkan. Dia percaya kepada Ilham.
Aina memejamkan matanya, lalu dia tertidur.

–AdH–

"Hoammmm..."

Eh, gue di mana?

"Perasaan gue tidur sambil meluk Pak Ilham deh di sofa, kok sekarang di kamar," gumam Aina.

"Oh, iya Pak Ilham kemana? Ini jam berapa?"

Waktu gue liat jam dinding, sekarang udah jam 5 sore. Pantes dia udah pulang. Terus yang bawa gue ke kamar siapa? Pak Ilham? Gak deh, tapi masa ayah? Gak mungkin karena ayah belum pulang. Bunda juga gak mungkin. Ok fiks pasti dia, nanti gue tanya aja sama bunda biar jelas.

"Bunda?"

"Apa, Na?"

"Ayah udah pulang?"

"Ya udah dong, kan udah jam lima. Biasanya Ayah pulang juga jam segitu."

"Berarti yang bawa Aina ke kamar, Ayah?"

"Kamu ini gimana sih, Na? Ayah itu pulang jam lima sore, ini aja jam lima sore kamu baru bangun. Ya berarti gak mungkin Ayah yang bawa kamu dong!"

"Terus siapa, Bun? Masa Bunda?" tanya Aina polos.

"Astaghfirullah, Aina! Yang bawa kamu ke kamar itu Nak Ilham."

Nah kan!

"Kok Bunda bolehin masuk ke kamar Aina sih?!"

"Heleh! Dengerin ya! Sebelum Nak Ilham bawa kamu ke kamar, dia minta izin dulu ke Bunda. Karena Bunda yakin sama Nak Ilham jadi Bunda bolehin. Lagi pula Bunda percaya Nak Ilham gak bakalan macem-macem sama kamu, apa lagi di rumah orang tuanya," jelas Liana.

Tapi kan aneh! Gimana kalo tadi pak Ilham nyuri ciuman gue, gimana kalo dia udah grape-grape gue? Huaaa...

Huss!

Gue yakin dia gak bakalan lakuin itu, kenapa? Karena gue gak ada isinya. Gue tuh kurus, mana napsu Pak Ilham sama badan gue.

Wkwkwkwk

"Bunda jadi pengen cepet-cepet punya mantu kayak Nak Ilham," celetuk bunda yang bikin gue merinding. Bisa ya kayak gitu?

"Bunda ku yang cantik... Aina masih pengen sekolah, Aina pengen kuliah, Aina pengen kerja. Bisa bikin Ayah dan Bunda bangga punya anak Aina. Lagi pula Aina masih belum siap buat jadi istri apa lagi ibu. Nanti kalo Aina gak bisa ngurus suami gimana? Kalo Aina gak bisa ngurusin anak Aina gimana? Aina gak mau jadi orang tua yang gagal. Aina mau nikmatin masa muda Aina dengan rebahan santuy. Jadi Aina gak mau mikirin lamaran, nikah, suami, anak, masalah keluarga, dan bla bla bla-- Aina mau bebas."

"A--" belum sempat Liana mengucapkan kalimat, Aina sudah memotongnya.

"Dadaaaa Bundaaa Aina mau keluar. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam." Liana tidak jadi berbicara, karena Aina sudah kabur terlebih dahulu.

Dasar anak itu! - batinnya.

To Be Continue!

AINA FAJ'RI ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang