Habis di hukum, di hukum lagi. Mantep kan guys!
Aina Faj'ri
"Kamu ngapain di sini?"
"Eh, Bapak lagi. Saya habis lari-lari, Pak."
"Di hukum, eh?"
"Ah, Bapak tau aja."
"Kenapa di hukum?"
"Ketiduran, Pak."
"Jamnya siapa?"
"Jam nya Pak Bagas. Eh, Bapak kok di sini? Nggak ngajar?"
"Suka-suka saya dong."
Aina terdiam. Nih guru PMS atau gimana sih, judes banget.
"Ya udah, Pak. Saya mau lanjutin lari dulu, masih kurang dua putaran. Permisi." tanpa menunggu jawaban dari Ilham, dia kembali berlari. Memang tadi saat Ilham datang dan menanyainya, dia baru menebus tiga putaran.
Kenapa Aina tidak kabur aja padahal nggak ada yang ngawasin?
Aina tidak mau lari dari tanggung jawab, ini adalah kesalahan yang dia perbuat, maka dia harus menerima risikonya. Tidak apa, hanya lima putaran saja.
"Anjir, capek. Ke kantin boleh gak sih?" Aina bermonolog.
"Loh, Bapak masih di sini?" Aina terkejut, saat melihat Ilham masih setia di bawah pohon yang ada di pinggir lapangan.
"Kenapa? Saya tidak boleh di sini?"
"Boleh kok, Pak. Nggak ada yang ngelarang. Em, permisi ya, Pak saya mau ke kelas."
"Tunggu, kamu tidak capek?"
What? Asli tuh guru ngomong gitu? Ya capek lah, pak. Gila aja kalo nggak.
"Capek sih, Pak. Tapi ini masih jam pelajarannya Pak Bagas, jadi saya harus kembali ke kelas."
"Kamu tidak haus?"
"Jangan di tanya itu mah, Pak."
"Ambil ini!" Ilham menyodorkan botol minum kepada Aina.
Aina masih belum paham, apa maksudnya Ilham menyodorkan botol minum ke Aina? Botol itu sepertinya botol pribadinya, kenapa di kasih ke Aina.
"Maksudnya, Pak?"
"Ambil air minum ini. Buat kamu."
"Eh, ini kan minuman Bapak."
"Lalu? Kamu nggak mau terima botol ini karena bekas saya?"
"Saya nggak bilang gitu ya, Pak," jawab Aina cepat.
"Ambil. Minum."
"Tapi Pak saya bisa beli di kantin kok be--"
"Minum, Aina Faj'ri!"
"Kok Bapak nge gas."
"Saya nggak mau, Pak!" lanjut Aina.
"Kenapa karena bekas saya?"
"Salah satunya," kata Aina pelan.
Ya kali gue minum bekasnya pak Ilham, bisa ilang nanti first kiss gue.
"Saya nggak punya penyakit apa-apa, kamu nggak perlu khawatir."
"Bukan itu, Pak tapi--"
"Ciuman?"
What the fuck! Doi peka banget sih, kan gue jadi malu, anjirr.
"Iya." kali ini jawaban Aina lebih pelan dari yang sebelumnya.
"Itu memang mau saya."
"Hah?"
"Tidak. Ambil ini! Habiskan, jika sudah habis kembalikan botolnya ke saya."
Kemudian Ilham berjalan pergi, tapi Aina ingat sesuatu yang ingin ia tanyakan kepadanya.
"Pak, tunggu!"
Aina berlari mengejar Ilham. Untungnya guru satu itu langsung berhenti.
"Ada apa?"
"Itu, saya cuma mau tanya. Kan Bapak kasih saya hukuman, sekarang udah selesai saya kerjakan. Boleh di kumpulkan nanti setelah bel pulang?"
"Cepat sekali? Ada yang membantumu?"
"Ihh, Bapak mah, saya itu ngerjain sendiri. Bahkan saya lewatin istirahat buat ngerjain hukuman Bapak."
"Ya sudah, boleh kamu kumpulan nanti."
"Oke, makasih, Pak."
Ilham mengangguk lalu kembali berjalan yang Aina tebak pasti ke ruang guru.
"Gue harus minum ini gitu?" gumam Aina sembari berjalan menuju kelas. Pelajaran pak Bagas sudah selesai 2 menit yang lalu. Terbukti bahwa bel pergantian pembelajaran berbunyi tadi.
"Kenapa kamu di sini?"
Aina menoleh ke belakang, ada bu Nurma di sana sedang membawa setumpuk buku. Sepertinya sangat berat.
"Eh, Ibu, tadi habis lari, Bu," ucap Aina cengar-cengir.
"Sudah saya duga. Kapan kamu berubah, Aina. Pasti karena ketiduran kan?"
"Iya, Bu. Saya nggak kuat melek lama."
"Ada-ada saja kamu ini."
"Ibu mau ke ruang guru?"
"Iya, kenapa?"
"Mau saya bantuin bawa bukunya, Bu? Keliatannya berat."
"Ini memang berat. Kamu beneran mau bantuin?"
"Iya, Bu."
"Ya sudah, kamu bawa setengah, saya setengah. Ini, ayo."
Aina mengikuti Bu Nurma dari belakang, kalo kalian mau tau guys ini bukunya berat banget suer gak bohong!
Tapi nggak papa lah, bantu orang itu dapet pahala, apa lagi yang di bantu adalah guru. Orang tua kedua setelah Ayah Ibu kita dirumah.
Walaupun gue ini anak yang nakal- maksudnya nakal yang masih wajar hehe, gue itu bener-bener menghormati guru. Yah, kadang masih bikin guru jengkel.
"Taruh disini aja, Na."
"Iya, Bu."
Aina menaruh bukunya di atas meja bu Nurma. Nggak banyak guru yang ada di ruangan ini, mungkin sedang berada di ruang kelas.
Satu titik yang buat gue diem kayak patung.
Pak Ilham!
Ngapain ngeliatin gue sampai segitunya sih, bukanya apa-apa, pak Ilham ngeliatin gue tuh tajam banget. Nusuk ke paru-paru, gak deng.
Cuma gue senyumin.
"Makasih ya, Na."
"Iya, Bu. Kalo gitu saya permisi."
"Ya sudah sana, ke kelas lho jangan mampir mampir."
Tau aja si ibu ini.
"InsyaAllah, Bu, hehe. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Keluar dari ruang guru, entah kenapa gue jadi lega. Nggak tau kenapa sih.
Di depan ruang kelas, gue diem dulu. Gimana ngomong ke guru nya ya? Masa gue bilang habis di cegat pak Ilham, kan nyari mati namanya.
Masuk dulu aja deh.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam," jawab temen-temen dan guru yang lagi ngajar.
"Dari mana saja kamu?"
"Saya habis di hukum Pak Bagas, Bu. Sehabis di hukum saya bantuin Bu Nurma bawa buku."
"Ya sudah duduk, jangan diulangi lagi!"
"Iya, Bu. Terima kasih."
Huh, selamat, yeyyy!
To Be Continue!
KAMU SEDANG MEMBACA
AINA FAJ'RI ✓
Teen FictionAina Faj'ri, seorang perempuan yang gemar sekali tertidur di kelas. Karena hobinya itu dia kerap kali dihukum oleh gurunya namun, itu tak membuatnya kapok. Hingga semua dimulai saat ia bertemu dengan seorang guru saat hendak membeli barang. Dari sit...