36 || Tanpa Suara

42 15 3
                                    

Dalam sebuah hubungan perlu adanya komunikasi, saling terbuka, dan yang paling utama adalah saling percaya.

Aina Faj'ri

Sekarang ini, Aina sedang berada di tempat tinggal Ilham. Dia akan meluruskan semuanya agar kembali baik-baik saja.

Rasanya tidak tenang setelah beberapa hari ia tak berhubungan baik dengan laki-laki itu.

"Pak?"

"Hm?" dehem Ilham tanpa menoleh sedikitpun, laki-laki itu terlalu fokus pada laptopnya atau mungkin mengalihkan pandangannya agar tak bertatapan langsung dengan Aina.

"Pak, berhenti dulu dong. Saya mau ngomong serius," bujuk Aina sedikit kesal, sudah setengah jam dia menunggu gurunya itu namun hingga sekarang tak ada perubahan sama sekali. Tetap fokus pada laptopnya, seperti tak menganggap kehadirannya di sini.

"Ngomong tinggal ngomong."

"Ya Bapak fokus ke saya dong! Gak sopan ada orang ngomong malah dicuekin," sentak Aina merasa geram.

Dia kira hanya dirinya saja yang kekanak-kanakan, ternyata Ilham pun juga.

"Saya sedang sibuk, bicara lain kali saja."

"PAK! SAYA DATANG KE SINI JAUH! BAPAK GAK NGEHARGAIN NIAT SAYA?!" tanpa sadar Aina menaikkan suaranya beberapa oktaf yang langsung membuat Ilham mengalihkan pandangannya dari laptop.

Matanya menatap tajam Aina yang kini sedang berdiri.

"Siapa yang nyuruh kamu ke sini? Gak ada kan?" pertanyaan Ilham membuat Aina termenung, sebegitu tidak pentingnya kah dia sekarang?

Dia datang ke sini dengan melawan ketakutannya saat menaiki ojol, terus berusaha berpikiran positif saat motor melaju. Berusaha untuk memperbaiki hubungan mereka yang merenggang entah karena apa, sebelum jelas itu alasannya.

"Bapak kenapa sih? Kalo saya ada salah itu bilang, bukan kayak gini. Saya ngaku kalo saya kekanak-kanakan, tapi kalo kayak gini Bapak lebih kekanak-kanakan dari pada saya," sahut Aina dengan suara yang pelan.

Semua bisa dibicarakan dengan baik-baik.

"Bapak marah sama saya karena lihat saya ketemuan sama cowok di taman sekolahan? Bilang, Pak biar saya yang jelasin, biar Bapak gak nyari jawaban sendiri dan akhirnya bikin Bapak benci sama saya."

Mata Aina terus menatap Ilham, sepertinya percuma dia berbicara panjang lebar. Bahkan laki-laki itu tak merespon apapun dari perkataan Aina.

"Bapak lihat saya pelukan sama orang itu? Bilang, Pak, tanyain sama saya. Biar saya jelasin juga sejelas-jelasnya."

"Bukannya sebuah hubungan seharusnya bisa saling terbuka ya, Pak? Terus Bapak mikir kalo saya gak mau terbuka, gak gitu Pak. Saya mau cerita sebenernya, tapi setelah saya masuk ke mobil saya lihat suasana hati Bapak sedang buruk, saya pikir bisa dilain hari, tapi makin lama kok malah gak bisa ditemuin. Saya harus gimana, Pak?" empat kata terakhir membuat Aina benar-benar putus asa.

Berapa banyak kata yang dia ucapkan? Berapa kalimat? Tolong gerakkan hati laki-laki itu, ku mohon.

Aina tersenyum tipis, menelan ludahnya dengan susah. "Bapak gak mau ngomong apa-apa? Gak mau tanya apa-apa ke saya? Mumpung saya belum pergi," tawar Aina.

Tak ada sahutan dari lawan bicaranya. Aina terkekeh sendiri.

Sepertinya air matanya sudah siap meluncur, lebih baik dia pergi. Toh tak ada gunanya juga dia terus berada di sini. Kehadirannya pun tak diharapkan oleh laki-laki itu.

Aina mengambil tas selempangnya, tanpa mengucapkan sepatah kata dia pergi.

"Udah cukup, Na. Dia gak peduli juga kalo lo jelasin. Bukannya dulu lo paling males berurusan sama cinta? Kenapa sekarang gampang banget patahnya?" marah Aina pada dirinya sendiri.

"Bodoh banget sih lo, Na. Mau-maunya lo balik suka sama cowok yang gak mau tanya kejelasannya!"

Aina berjalan pelan, dia tak berniat menggunakan kendaraan umum. Sepertinya berjalan kaki lebih mengusir kesedihannya.

Sedih? Tentu saja!

Jujur saja, dia sudah mencintai laki-laki itu. Entah kapan dia tidak tahu, semuanya mendadak.

"Coba dong, Na sekali-kali keliatan biasa aja. Gak usah mewek, gak usah baperan. Bisa kan ya?" Aina sudah seperti orang gila berbicara sendiri.

"NA!!" teriak seseorang.

Aina menoleh, Damian.

Dia menghela nafas, kemudian berpura-pura tersenyum agar terlihat ia sedang baik-baik saja.

"Ngapain di sini sendirian?"

"Gak papa iseng aja," balas Aina seadanya.

"Yakin? Lo- gak lagi ada masalah kan?"

"Enggak kok, tenang. Oh ya, lo ngapain di sini?" tanya Aina balik, mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Oh tadi abis dari rumah sakit, adek gue demam."

"Terus gimana keadaannya?"

"Alhamdulillah, lebih baik dari pada tadi. Lo mau gue anterin balik? Sekalian."

"Eh gak usah, Dam. Gue lagi pengen jalan kaki aja, sekalian olahraga ringan." Aina menampilkan senyumannya, sangat menjiwai dalam berpura-pura.

"Oh ya udah, gue duluan ya. Kalo butuh bantuan bilang aja," ucapnya sebelum akhirnya pergi.

"Huh!"

🦂🦂🦂

"Assalamualaikum," salam Aina ketika memasuki rumah.

"Waalaikumsalam, kam-"

"Bunda, Aina ke kamar dulu ya, pengen istirahat sebentar."

Liana tersenyum tipis dan mengangguk. Putrinya sedang tidak baik-baik saja. Liana tahu, ikatan antara ibu dan anak sangatlah erat.

"Bunda?"

"Ada apa sayang?"

"Aina gak papa kok, tenang aja. Tolong buatin brownis coklat dong Bun, Aina lagi pengen hihi..."

"Iya, nanti Bunda buatin. Coklatnya banyak!" jawab Liana di angguki Aina dengan antusias, lalu dia kembali melangkahkan kakinya ke kamar.

"Kenapa?" Liana dikagetkan dengan suara suaminya, Abraham tentu saja.

"Aina, aku tau dia lagi ada masalah sama Ilham. Tapi aku gak tau apa masalahnya," lirih Liana.

"Biarkan mereka yang selesaikan masalahnya."

To Be Continue!

AINA FAJ'RI ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang