VOMENT
Agra merebahkan tubuhnya di samping Maggie. Merengkuh tubuh Maggie yang terasa mungil di dalam dekapannya. Menghirup dalam-dalam aroma tubuh Maggie yang membuat perasaannya nyaman.
Puas menikmati aroma tubuh Maggie, Agra beralih mengungkung tubuh mungil Maggie di bawah tubuhnya.
Tatapannya terlihat begitu intens. Menilai setiap jengkal wajah Maggie tanpa terlewatkan satu hal pun. Mulai dari mata, hidung, pipi, dagu, kening, dan bibir.
Meskipun bibir istrinya itu terlihat pucat, istrinya tetap lah terlihat cantik di matanya.
Tangannya terangkat, membelai pipi Maggie pelan dan penuh kelembutan seolah takut sentuhannya menyakiti istrinya itu.
Keningnya disatukan dengan kening Maggie. Hidung mancung mereka bersentuhan. Deru nafas hangatnya menerpa wajah Maggie. Buliran air mata mulai turun dari pelupuk matanya, membasahi pipi Maggie. "Kapan kau akan bangun, mate? Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Hatiku terasa sangat sakit melihat keadaanmu seperti ini." Isaknya pelan dan tertahan karena tidak ingin diketahui orang lain bahwa ia sedang menangis.
Menangis di keheningan malam sudah biasa dia lakukan semenjak wanita cantik itu tidak sadarkan diri.
"Cepatlah bangun. Aku selalu menunggumu, mate."
Wajah Agra sedikit miring lalu mempertemukan bibirnya dengan bibir Maggie yang terasa lembut dan dingin.
Bibir Agra bergerak. Menyapu bibir atas Maggie dengan lidahnya sebelum menghisap lembut bibir istrinya itu.
"Cepat bangun, sayang." Bisiknya sekali lagi dan melayangkan kecupan kecil di bibir mungil Maggie.
Agra merebahkan tubuhnya di samping Maggie lalu menarik Maggie merapat ke tubuhnya. Dipeluknya wanita cantik itu begitu erat, seolah takut akan pergi jauh dan tidak bisa diraihnya lagi.
Pria tampan itu hampir terjatuh ke alam mimpi namun itu tidak terjadi karena merasakan pergerakan kecil dari tubuh Maggie.
Matanya terbuka lebar. Pelukannya terlepas dan tatapannya semakin intens ke Maggie.
Dadanya membuncah bahagia melihat mata wanita tercintanya itu mulai terbuka dan mengerjap pelan, menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam retinanya.
Senyuman lebar menghiasi bibir Agra. Saking lebarnya senyuman pria tampan itu, siapa pun pasti akan takut bibir tersebut robek.
"Akhirnya kau bangun juga, mate." Ujarnya senang.
Maggie tampak masih menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam matanya. Tidak menyahut ucapan Agra sama sekali.
Agra semakin tersenyum lebar kala Maggie menatapnya.
Akhirnya ia bisa menatap mata indah itu lagi setelah sekian lama.
Akhirnya harapan dan keinginannya terkabulkan setelah menunggu lama.
"Air." Ujar Maggie serak dan terbata-bata tapi Agra Masih bisa menangkap apa yang dikatakan Maggie. Dengan sigap ia mengambilkan air dan membantu wanitanya itu minum.
Maggie mendesah lega setelah selesai minum sedangkan Agra kembali membantu Maggie rebahan.
"Bagaimana keadaanmu sekarang, mate? Apakah terasa lebih baik?"
Maggie mengangguk dengan mata terpejam.
"Aku senang mendengarnya mate. Kalau begitu istirahatlah." Agra mengusap lembut puncak kepala Maggie guna memberikan kenyamanan pada wanita cantik itu.
Sejujurnya ia ingin berbicara banyak hal tapi dia menahan keinginannya tersebut karena tidak ingin menganggu Maggie yang baru sadar. Ia menahan keinginannya mati-matian.
"Agra.."
Panggilan pelan Maggie membuat perhatian Agra terfokuskan ke Maggie.
Wanita cantik itu sedang menatapnya kosong. "Kenapa aku merasa kehilangan?" Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulut Maggie, membuat tubuh Agra menegang kaku dan mendadak tidak bisa digerakkan. Lidahnya terasa kelu untuk menjawab pertanyaan Maggie.
"Kenapa diam saja?"
Agra membuang pandangan ke arah lain. Tidak sanggup melihat wajah heran Maggie yang pasti akan terlihat sangat tersakiti setelah tahu fakta menyakitkan itu.
"Agra, kenapa? Jawab aku!"
Maggie menghela nafas gusar. Baru saja bangun dia sudah dihadapkan dengan tingkah aneh Agra. Tidak bisanya Agra bersikap demikian.
Maggie menghela nafas berat lalu mengelus perutnya, seperti kebiasaannya dulu.
Tubuhnya membeku seketika kala merasakan tidak ada kehidupan sama sekali di dalam perutnya.
Matanya mengerjap berulang kali. Seolah memastikan dia salah.
Agra yang melihat hal itu menghela nafas berat. Dia mengenggam tangan Maggie dan membawa ke dadanya. "Anak kita telah meninggal, mate. Maaf tidak bisa melindungi kalian." Bisiknya lirih.
Dan Maggie masih terdiam mematung di tempat seolah tidak bernyawa.
-bersambung-
KAMU SEDANG MEMBACA
MATE
Fantasy(Sequel The Demon's Mate & Queen Of Werewolf) Semua berawal dari permainan truth or dare. Ia mendapat dare masuk ke dalam salah satu ruangan terlarang di kerajaan Arthur. Ruangan yang tidak boleh dimasuki oleh siapa pun. Dengan mempertaruhkan hidup...