Part 25 (b)

7.5K 997 30
                                    

"Ada satu cara menyelamatkan matemu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Ada satu cara menyelamatkan matemu."

Agra yang sedang menangis di dalam pelukan Lily lantas mengalihkan pandangannya ke arah Arthur yang baru saja mengatakan hal itu.

Tatapannya terlihat sangat berbinar meskipun dibasahi air mata.

Harapan tumbuh di dalam dirinya mendengar perkataan sang ayah.

"Apa caranya, ayah?" Tanyanya dengan nada bergetar akibat tak kuasa menahan rasa sedih dan senangnya dalam waktu bersamaan.

"Sebelum itu lepaskan dulu pelukanmu dari mateku."

Perkataan Arthur membuat Lily yang sedang mengelus punggung Agra melotot kaget. "Arthur jangan aneh-aneh deh." Cetusnya tak habis pikir.

Arthur menatap Lily datar. "Aku tidak aneh-aneh, honey. Aku hanya menyuruhnya melepaskan pelukannya darimu. Kau tahu bukan? Aku sangat tidak suka berbagi dirimu meskipun itu dengan anakku sendiri."

Lily mengerucutkan bibirnya kesal sambil menatap suaminya itu gemas.

"Aku sudah melepaskan ibu. Jadi, bagaimana caranya?!" Tanya Agra tidak sabaran.

Arthur duduk di samping Lily lalu membawa istrinya itu ke atas pangkuannya. "Membagi masa hidupmu dengannya. Dengan kata lain, masa hidupmu akan berkurang karena dibagi dengannya. Apakah kau tidak keberatan?"

Agra mengangguk tegas. "Selama bisa membuat mateku bangun, aku tidak akan keberatan sama sekali."

"Tapi Agra tidak akan mati dengan cepat 'kan?" Tanya Lily polos dengan nada khawatirnya.

"Tidak, honey. Apa kau lupa? Kaum kita ini bisa hidup lebih dari seribu tahun."

Lily menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Iya juga ya. Lily lupa."

"Bagaimana cara membuat mateku kembali hidup?"

Arthur menumpukan dagunya di puncak kepala Lily. "Melakukan ritual dan meminumkan darahmu ke Maggie."

"Apakah bisa melakukannya sekarang?" Tanya Agra dengan nafas tercekat.

"Bisa saja."

"Kalau begitu, lakukan sekarang juga, yah." Cetusnya tak sabaran.

Arthur mengangguk. Tidak tega juga melihat putranya yang sangat terpuruk itu. "Kau keluar dulu ya, honey. Jangan biarkan siapa pun masuk ke dalam sini selama aku belum keluar."

Lily mengangguk polos. Wanita cantik itu hendak bangkit dari atas pangkuan Arthur namun Arthur menahannya. Lily menoleh ke Arthur dengan tatapan heran. "Kenapa Arthur menahan Lily? Katanya Lily disuruh nunggu di luar."

Arthur tersenyum miring. "Cium dulu aku, honey."

Lily melotot kesal. "Arthur ini tidak tahu kondisi sekali!" Cibirnya. "Buat dulu Maggie bangun, baru cium Lily."

Arthur mendesah malas. "Aku perlu vitamin agar bersemangat melakukan ritualnya, honey. Dan vitaminku itu bibirmu."

Wajah Lily benar-benar merah padam mendengar perkataan Arthur. Ia malu. Terutama malu akibat adanya keberadaan Agra di sana.

Agra menunggu orangtuanya selesai dengan tidak sabaran. Ingin sekali rasanya dia memisahkan kedua supaya matenya cepat dibangunkan akan tetapi ia tidak bisa melakukan hal itu karena ayahnya pasti akan ngamuk dan berakhir tidak mau membantu matenya.

Kesabaran Agra benar-benar diuji saat ini.

Untuk membantu rasa sabarnya tetap terjaga, ia menatap wajah cantik matenya yang selalu membuat perasaannya kacau balau.

Setelah beberapa menit kemudian akhirnya kedua orangtuanya selesai bermesraan.

"Mari kita lakukan sekarang. Kau letakkan darahmu di tempat ini dan aku akan memulai ritualnya."

Agra mengangguk patuh.

Ia menyayat tangannya sendiri dengan pisau dan menampung darahnya di cangkir yang diberikan Arthur.

Mereka melakukan proses itu lumayan lama.

Agra menanti dengan harap-harap cemas.

Saking cemasnya, untuk bernafas saja rasanya sangat sulit.

Arthur membantu meminumkan darah ke dalam mulut Maggie sambil terus menggumamkan sesuatu.

Agra semakin tidak tenang melihat tubuh Maggie yang bergetar hebat.

"Kenapa tubuh mateku bergetar?" Tanyanya dengan nada tercekat.

"Darahmu sedang bereaksi di dalam tubuhnya. Setelah tubuhnya tenang, berarti darahmu sudah berhasil membuatnya kembali."

"Kapan mateku akan bangun?" Menatap sendu pada wajah Maggie yang masih terlihat pucat.

"Paling tidak dua hari lagi dia akan bangun. Aku pergi dulu. Jaga matemu baik-baik."

Agra menghela nafas panjang. Pria itu duduk di sisi Maggie dan mengenggam tangan istri cantiknya itu erat dan membawa ke dadanya.

"Cepat bangun, mate. Aku tidak sanggup jika harus melihatmu seperti ini terus. Dadaku terasa sakit melihat keadaan tidak berdayamu." Lirihnya.

Dikecupnya punggung tangan Maggie dan meletakkan di pipinya sembari terus menatap lekat wajah Maggie.

"Cepat bangun, mate. Aku menunggumu."

Bersambung...

18/3/21

MATETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang