Part 27 (b)

7K 893 10
                                    

VOMENT

Maggie mengerjap pelan ketika tubuhnya dipeluk erat oleh Agra. Disusul dengan elusan lembut di punggungnya. Usapan yang membuat kesedihannya semakin menjadi hingga tidak tahan untuk menahan tangis.

Tangisannya pecah begitu saja. Raungannya terdengar begitu pilu, menyayat hati orang yang mendengarnya.

Agra ikut menangis mendengar tangisan histeris istrinya. Meski sedang menangis, dia tetap memberikan usapan lembut dan kata penenang pada Maggie.

"Sabar, mate. Jangan menangis lagi. Hatiku semakin sakit mendengar tangisanmu." Lirihnya.

Maggie memeluk erat tubuh Agra, menyembunyikan wajahnya di dada bidang pria itu, dan menangis semakin keras.

Tidak ada yang bisa dilakukan Agra selain mengusap rambut Maggie. Berharap tindakannya memberikan ketenangan untuk istrinya yang sedang bersedih hati itu.

Agra maklum istrinya sesedih itu.

Jangankan istrinya, dia saja sangat sedih kehilangan anak pertama mereka.

Anak yang bahkan belum pernah mereka lihat wujudnya di dunia ini.

Anak yang dulunya memberikan harapan dan impian pada mereka berdua.

Namun semua harapan dan impian mereka hancur sekarang karena kehilangan sosok anak pertama mereka.

Ini semua karena Aldebaran. Jika saja pria itu merelakan Maggie, maka ini semua tidak akan terjadi.

Mereka tidak akan kehilangan anak mereka dan bisa melihat pertumbuhan anak mereka sampai besar nanti.

Sial sekali pria itu sudah meninggal. Jika saja pria itu belum meninggal maka Agra akan menyiksanya dengan sadis sehingga Aldebaran memohon untuk dibunuh karena tidak kuat disiksa terus.

"Anak kita, Agra." Raung Maggie pilu dan menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Agra. Semakin menangis di sana.

Remasan kuat terasa di bagian belakang bajunya. Agra semakin mendekap tubuh mungil Maggie dan mengecup puncak kepala Maggie berulang kali. "Relakan saja kepergian anak kita, mate. Jangan menangis seperti ini lagi. Hatiku terasa tersayat pisau."

Maggie melepaskan pelukannya dan menatap Agra tajam meski pipinya dibasahi air mata. "Bagaimana aku bisa tidak menangis setelah kepergian anak kita?! Kau tahu sendiri aku sangat mencintai anak kita! Aku sangat menantikan kehadirannya di dunia ini!! Tapi apa?! Anak kita malah meninggal!! Aku tidak rela sama sekali!!" Amuknya sambil memukul-mukul dadanya yang terasa sesak.

Agra kembali mendekap tubuh Maggie. Kali ini lebih erat sehingga Maggie tidak bisa memukul dirinya sendiri lagi.

"Aku tahu ini berat, mate. Tidak hanya kau yang merasakan hal itu tapi aku juga. Namun kita berdua tidak boleh terpuruk. Kita harus bangkit dan tidak tenggelam dalam kesedihan."

Agra memang mudah mengatakan kata itu ke Maggie namun jauh di dalam lubuk hati terdalamnya, ia belum rela atas kepergian anak pertamanya.

Dia laki-laki. Jika dia terlihat lemah, lantas siapa lagi yang akan menghibur Maggie?

Dia harus kuat dan tegar. Tidak boleh menunjukkan kesedihan sedikit pun karena Maggie lah yang paling utama.

Maggie tidak boleh terpuruk seperti dirinya karena ia tidak ingin melihat hal itu terjadi.

"Jangan sedih ya, mate. Aku akan selalu ada untukmu meskipun anak pertama kita tidak bisa melakukan itu." Kecupan lembut dilayangkannya di puncak kepala Maggie.

Wanita cantik itu mengangkat wajahnya, menatap wajah tampan Agra yang tampak sendu dan lelah.

Agra memberikan senyuman terbaiknya lalu di usapnya pipi Maggie pelan. "Jangan menangis, mate. Hatiku sakit melihatmu menangis seperti ini." Melayangkan kecupan lembut di kelopak mata Maggie sehingga mata wanita cantik itu terpejam. Agra kembali mendekap tubuh Maggie erat sedangkan Maggie meresapi perlakuan Agra. "Masih ada aku, mate. Jangan sedih." Agra terus membisikkan kata penenang dan usapan lembut sehingga membuat Maggie terbuai dalam alam mimpinya.

Bersambung....

Amjay, aku ga bisa buat sedih-sedih kayak author lain tapi ya sudahlahಥ‿ಥ

Cukup hidupku aja yang sedih. Ceritanya jangan•́  ‿ •̀

5/4/21

MATETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang