Wajah Maggie terlihat murung. Tidak pernah ada senyum yang menghiasi bibirnya beberapa hari belakangan ini.
Semua itu karena kehilangan anak pertamanya. Anak yang sangat dia tunggu kehadirannya.
Agra yang baru saja sampai di dalam kamar menghela nafas melihat keadaan mengkhawatirkan Maggie.
Pria tampan itu berjalan mendekat, duduk di samping Maggie, dan membawa istrinya itu ke atas pangkuannya.
Diusapnya kedua belah pipi Maggie dengan penuh kelembutan sehingga membuat mata Maggie terpejam.
Sentuhan Agra memang selalu berhasil membuat perasaannya menjadi lebih tenang.
Hanya di sisi Agra dia merasa rasa sakitnya terobati namun dia terlalu enggan untuk menunjukkan hal tersebut.
"Jangan sedih-sedih lagi, mate. Kau harus bisa merelakan anak kita. Nanti kita pasti akan punya anak lagi." Hibur Agra sembari mencium pipi Maggie.
Maggie menatap Agra datar tapi tersirat kesedihan di dalam sorot matanya.
"Ayo dong. Senyum." Rayu Agra sembari menoel pipi Maggie dengan senyuman menggodanya.
Bukannya tersenyum, Maggie malah menangis sehingga membuat Agra kelimpungan.
"Kenapa? Aku menyakiti hatimu??" Paniknya.
Maggie menggeleng dan langsung memeluk leher Agra, menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Agra dengan manja. "Terimakasih selalu ada untukku." Ujarnya di sela-sela isak tangisnya.
"Sudah kewajiban ku, mate. Aku akan selalu ada untukmu." Balas Agra dan kian mengeratkan pelukannya.
Maggie semakin menangis keras.
Agra menghela nafas. Membiarkan istrinya itu menangis sepuasnya dan setelah ini dia tidak akan membiarkan Maggie menangis lagi.
Dia akan membuat Maggie melupakan kesedihannya secara bertahap.
Dia akan membuat Maggie merasakan kebahagiaan baru supaya Maggie tidak punya waktu untuk memikirkan kesedihannya.
"Jujur saja, aku masih tidak rela atas kehilangan anak kita. Aku tidak rela kehilangannya bahkan sebelum aku sempat Melihatnya di dunia ini. Kau tahu sendiri. Aku sangat menantikan kehadiran anak kita tapi anak kita malah pergi lebih dulu. Aku merasa sangat sedih dan terpuruk tapi aku tahu, aku tidak boleh terus terpuruk. Masih ada dirimu dan keluargaku yang menyayangiku. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak sedih lagi dan tolong bantu aku supaya tidak merasakan kesedihan itu lagi."
Akhirnya setelah seminggu terpuruk dalam diamnya, Maggie mengutarakan apa yang ada di dalam otaknya dan hal itu membuat Agra merasa sangat senang.
"Pasti, mate! Aku pasti akan membantumu melupakan kesedihan yang kau rasakan sekarang ini."
Maggie mendongak. Agra menatap dalam mata indah Maggie yang berkaca-kaca.
Agra mendekatkan wajahnya dan mencium lembut bibir Maggie. "Semangat, mate. Kita harus sama-sama bangkit."
Maggie mengangguk dengan senyuman manisnya.
Senyuman yang mampu membuat Agra selalu terpesona. Senyuman yang lama hilang dari bibir Maggie.
Saking senangnya melihat Maggie kembali, Agra langsung mencium bibir Maggie dan mengulumnya dengan lembut.
Maggie pun ikut membalas ciuman tersebut.
Ciuman mereka semakin liar. Mereka sama-sama melampiaskan emosi yang mereka rasakan dan tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Suara ketukan pintu membuat Maggie dan Agra refleks berhenti. Tatapan sepasang suami istri itu langsung tertuju ke arah pintu.
Mereka kembali bertatapan dan sama-sama menghela nafas kesal. "Baru saja bermesraan denganmu tapi sudah ada yang menganggu, mate. Aku kesal." Rajuk Agra.
Maggie tertawa kecil.
Pintu yang digedor-gedor dengan keras membuat Maggie berhenti tertawa dan memutar bola mata malas. Ia sudah tahu siapa orang yang berada di balik pintu kamarnya itu. Siapa lagi kalau bukan....
Bersambung...
Aku akan namatin ceritanya hari ini juga.
Ngebut ngetiknya mumpung shift ku daring><
Jgn lupa dukung selalu ya
KAMU SEDANG MEMBACA
MATE
Fantasy(Sequel The Demon's Mate & Queen Of Werewolf) Semua berawal dari permainan truth or dare. Ia mendapat dare masuk ke dalam salah satu ruangan terlarang di kerajaan Arthur. Ruangan yang tidak boleh dimasuki oleh siapa pun. Dengan mempertaruhkan hidup...