Sudah 2 hari Leoni perang dingin dengan Deka. 2 malam pula Leoni berlatih silat dengan tongkat di halaman rumahnya. Baru kali ini mereka bertengkar sampai tak menyapa satu sama lain. Walau masih tetap di bangkunya masing-masing. Sharah sampai beberapa kali mengeluh pada Leoni. Bilang kelas jadi canggung melihat mereka jadi diam.
Earphone nirkabel terpasang di kedua telinga Leoni, mendengarkan iringan instrumen tradisional jawa barat. Menyatukan gerakan silatnya dengan ketukan nada yang ia dengar. Hanya dengan begitu pikirannya tentang Deka bisa teralihkan. Hanya dengan begitu tubuhnya akan lelah dan tanpa berpikir yang macam-macam bisa langsung tidur. Beberapa minggu terakhir dia selalu berusaha tidur tanpa obat.
Ia memutar tongkat dengan cepat di tangannya. Lalu di putar kebelakang punggungnya dengan lincah. Sesekali melompat dan menghantamkan tongkat memukul udara sepenuh tenaga.
Leo duduk di kursi teras. Sok sibuk dengan Laptop di atas meja di depannya. Tapi matanya terus memantau adiknya yang berlatih keras dengan piyama biru langit bermotif Spongebob. Tidak singkron dengan gerakan brutalnya yang berkali-kali menebaskan tongkat membelah angin.
Sedang fokus-fokusnya musik pengiring di telinganya tiba-tiba beralih menjadi lagu Rindu sendiri soundtracknya Dilan 90.
Leoni menggeram menghentakkan tongkatnya ke tanah. Sudah siap untuk meledak, tapi saat berbalik gadis itu jadi tersentak membelalakan matanya. Deka sudah duduk santai di kursi teras di samping Leo, tersenyum menggoyangkan ponsel Leoni di genggamannya.
Leoni mengerutkan kening masih mematung di tempatnya. Melirik motor yang terparkir di samping mobil Leo.
"Kapan tuh orang dateng?" gumam Leoni bertanya pada dirinya sendiri. Apa sefokus itu dia sampai suara motor Deka datang dia tak tahu?
"Samperin sono." kata Leo menyenggol lengan Deka.
"Dia lagi bawa tongkat Bang." balas Deka mengkerut.
"Ya terus? Lo pikir dia bakal mukul elo pake tongkat gitu?"
"Lo pikir Leoni gak bisa gitu?" balas Deka melengos. "Kenapa dia latihannya pake tongkat? Tangan kosong aja nakutin kalo udah ngeluarin jurus."
"Masih untung pake tongkat. Minggu depan dia mulai latihan pake golok." Ucapan Leo sukses membuat mata Deka membulat.
"Golok?!" tanyanya tak percaya.
TUK!
Keduanya melonjak kaget, menoleh serempak.
Leoni sudah berdiri di depan mereka menghentakkan tongkatnya ke teras dengan delikan tajam menatap keduanya bergantian.
Leo berdeham, beranjak mengambil laptopnya lalu ngeluyur masuk kedalam rumah. Meninggalkan Deka yang sempat ingin menahan tapi tangannya sudah tak sampai saat ingin menarik baju Leo.
Deka cengengesan membalas tatapan Leoni yang masih berdiri di sebrang meja memicingkan mata dengan wajah dinginnya.
Deka tahu benar marahnya gadis itu. Dia akan diam tak mengeluarkan satu patah katapun sampai amarahnya luntur. Beda jika dia hanya kesal, dia akan memukul atau menendang. Bagi Deka lebih baik dia mendapat pukulan daripada Leoni diam membuatnya tak kasat mata.
"Mau pukis?" tawar Deka mengangkat kotak dalam kantong pelastik putih di atas meja sambil tersenyum manis.
Leoni tak bergeming dengan ekpresinya yang seperti tak terpengaruh masih memicing dan dingin. Tapi hatinya sudah berontak, melompat dan menjerit ingin mengeluarkan unek-unek yang selama ini ia pendam. Di sisi lain ia juga marah karena merindukan pemuda yang kini duduk di depannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Eighteen
Teen FictionLeoni si gadis pencak silat pemegang sabuk biru. Murid kelas 11 MIPA 2 di SMAN Nusantara dan dikenal oleh hampir seluruh murid Nusantara. Dia gadis yang suple dan meledak-ledak. Wartawannya mading sekolah. Sering juga bercokol di OSIS. Tapi dari itu...