11:14
.
12:23
.
01:28
.
Setiap terbangun Leoni melihat jam di ponselnya. Gadis itu menghela nafas kasar.
Leoni memutuskan untuk bangun dan keluar dari tenda relawan. Dia berjalan ke tanah lapang menjauhi tenda. Leoni tak bisa tidur lagi. Jadi ia memutuskan untuk melatih silatnya. Kini pencak silatnya sudah ada di tingkat 7. Semenjak ia menekuri dunia fotografer dia sering pulang ke Indonesia dan berlatih kembali dengan tekun di paguyubannya dulu, meningkatkan kemampuannya.
Gerakan gadis itu semakin lincah dan cepat. Melayangkan tendangan, menghentak tanah dan lain sebagainya.
Setelah puas dan lelah dia mendudukan diri di tengah tanah lapang itu dengan nafas terengah. Meluruskan kakinya yang kotor, dia tak peduli dengan debu yang menempel di bajunya.
Terdengar tepuk tangan kecil mengagetkan Leoni sampai gadis itu terperanjat. Menolah.
"Mwoya? Niga wae yogiseo?" tanya Leoni kaget.
"Heh?" tanya Deka mengeryitkan keningnya tak mengerti.
"Ah. Sori. Lo ngapain disini maksudnya." kata Leoni pelan menerangkan sembari tertawa geli.
"Elo sendiri kenapa gak tidur? Malah silat." balas Deka menyodorkan air putih dalam botol kemasan. "Nih."
"Thanks." ucap Leoni menerima botol yang tutupnya sudah di buka oleh Deka. Dia langsung meminumnya, tenggorokannya memang sudah kering sejak tadi.
Deka duduk berjarak di samping gadis itu.
Leoni menyerahkan botol itu kembali pada Deka.
"Kok elo tau gue ada disini?" tanya Leoni menoleh pada Deka.
"Tau lah. Tenda gue di sebrang sana." tunjuk Deka pada tenda yang menghadap pada tempat Leoni sekarang.
"Mata lo tajem ya. Padahal disini minim cahaya. Bisa tau ini gue." katanya tersenyum geli. Pasalnya hanya cahaya bulan yang meneranginya.
"Ya gimana gak tau. Cuma elo yang ngangkat rok terus di iket di pinggang kaya gitu. Silat pula." kata Deka menunjuk rok Leoni dengan dagunya.
Leoni tersenyum kecil melihat roknya yang belum ia rapikan. Lalu diam tak bicara lagi. Dia menengadahkan wajahnya menatap langit sesekali mencuri pandang lewat ujung matanya pada pemuda yang duduk di sampingnya. Sebenarnya dia punya banyak pertanyaan di benaknya. Tapi entah kenapa mulutnya terkunci untuk mengungkapkannya.
Ada kecanggungan yang meliputi mereka. 11 tahun berpisah bukan waktu yang sebentar untuk kembali bersikap seperti biasa.
"Elo masih sulit tidur?" tanya Deka, memecah keheningan di antra mereka.
"Hm?" gumam Leoni mengerjap. Agak gelagapan, menoleh utuh.
"Elo masih sulit tidur?" ulang Deka.
"Oh. Biasanya nggak. Tapi malem ini gak tau kenapa ke bangun terus. Hati gue jadi gondok kalo gak nyenyak tidur. Jadi gue mutusin bangun aja." jawab Leoni.
Deka hanya mengangguk-anggukan kepalanya. Mereka kembali hening.
Sama-sama terdiam canggung.
"Apa?" tanya Deka. Saat Leoni meliriknya diam-diam lagi.
"Apanya?" tanya Leoni balik dengan wajah polosnya.
"Ada yang mau lo tanyain ke gue?" tebak Deka.
Leoni membulatkan matanya. Apa Deka bisa baca pikirannya?
KAMU SEDANG MEMBACA
My Eighteen
Teen FictionLeoni si gadis pencak silat pemegang sabuk biru. Murid kelas 11 MIPA 2 di SMAN Nusantara dan dikenal oleh hampir seluruh murid Nusantara. Dia gadis yang suple dan meledak-ledak. Wartawannya mading sekolah. Sering juga bercokol di OSIS. Tapi dari itu...