"Pak!" pekik Leoni berlari menghampiri gerbang yang baru saja di tutup rapat oleh si satpam sekolah.
"Pak bukain dong Pak." rengek Leoni memohon pada Pak Budi.
"Gak bisa Neng. Tunggu aja di situ. Entar juga di bukain sama Pak septyo." kata Pak Budi menyebutkan Guru BK yang terkenal dengan ke garangannya.
"Ya gak bisa gitu Pak. Sekali ini aja pak." pintanya lagi memegangi pagar sekolahnya.
"Gak bisa Neng. Kalo saya buka. Nanti saya yang di tegor." tolaknya tegas lalu berbalik kembali ke posnya.
"Yah. Pak Budi!" panggil Leoni putus asa.
"Yah!" seru sebuah suara yang tiba-tiba sudah ada di sampingnya meratapi gerbang yang tertutup. Dengan frustasi menyisir rambutnya kebelakang dengan tangan kasar.
"Muba?" tanya Leoni begitu melihat pakaian SMP yang di kenakan pemuda jangkung di sampingnya itu.
"Hah?" tanya pemuda itu tak mengerti.
"Murid Baru?" jelas Leoni. "Kok bisa telat?" Leoni menyilangkan tangan di depan dada seolah menghakimi.
"Kakak juga telat kan?" balasnya sama sekali tak terlihat takut menegakkan tubuhnya menghadap Leoni.
Leoni jadi mendecak berkacak pinggang melotot dengan mata kecilnya sedikit mendongak karena tubuh tinggi pemuda itu.
Mulutnya sudah siap meluncurkan serangan balasan tapi terkatup rapat dengan mata membelalak melihat seseorang dari dalam sekolah yang sudah di pastikan akan menuju ke arahnya.Leoni memekik kecil lalu menarik pergelangan pemuda itu.
"Lari." pekiknya.
Pemuda jangkung itu sedikit tersentak dan terseret. Badannya agak terseok saat mengikuti Leoni berlari.
"Mau kemana sih?" tanya pemuda di belakang Leoni masih terseret.
"Dah ikut aja. Lo gak mau kan di hukum?"
Pemuda itu jadi mengatupkan bibirnya mengikuti dengan pasrah.
Leoni mengikat kerudung segi tiganya kebelakang leher dan menarik ujung rok mengankatnya.
"Ngapain lo ngangkat rok." ucap pemuda itu panik membalikkan badan memunggungi Leoni.
Leoni mendencih dengan santai mengangkat ujung roknya dan mengikatnya di pinggang. Menjadikannya seperti memakai rok pendek membuatnya lebih leluasa untuk menaiki tembok di depannya kini.
"Heh. Anak arab." panggilnya asal.
Pemuda itu berbalik mendelik tak suka. Sedetik kemudian jadi memicing menatap aneh gadis yang ada di depannya dari bawah sampai atas.
Rok panjangnya jadi seatas lutut memperlihatkan celana olahraga hitam garis putih di pinggirnya yang biasa ia pakai sebagai dalaman.
"Lo bisa manjat kan?" tanya Leoni tiba-tiba. Menyadarkan pemuda itu yang sedari tadi larut dalam fasion aneh kakak kelasnya ini.
"Lo emang bisa manjat? Tinggi gini. Gak ada kursi lagi." ucap pemuda itu meremehkan. "gak jadiin gue injekan biar lo bisa manjatkan?" tuduhnya.
"Hmm..." Leoni menghela nafas mencoba bersabar.
"kalo lo bukan anak baru dan situasi kita lagi aman udah gue banting lo." ucap Leoni santai memundurkan diri mengambil ancang-ancang untuk melompati dinding penbatas sekolahnya di halaman belakang yang tingginya melebihi tinggi badannya.
Dia melompat-lompat kecil 3 kali lalu dalam sekali tarikan nafas berlari dan melompat meraih ujung tembok dan menumpukan tubuhnya pada kedua tangannya. Mengangkat tubuhnya sendiri dengan kaki kanan lebih dulu ikut mendarat di ujung dinding dan seketika dia sudah ada di atas dinding terduduk menghadap kedalam sekolah. Memutar tubuh bagian atasnya melihat kebawah tepatnya pada pemuda yang kini ternganga tak percaya dengan ke gesitan gadis itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Eighteen
Teen FictionLeoni si gadis pencak silat pemegang sabuk biru. Murid kelas 11 MIPA 2 di SMAN Nusantara dan dikenal oleh hampir seluruh murid Nusantara. Dia gadis yang suple dan meledak-ledak. Wartawannya mading sekolah. Sering juga bercokol di OSIS. Tapi dari itu...