Deka menoleh saat mendengar suara benturan keras. Dia segera berlari ke arah mobil bak terbuka yang penuh dengan puatan itu. Kap depannya tampak penyot terbuka menabrak mobil lain. Beberapa orang yang ada di sekitar sana juga segera berlari menghampiri mobil itu. Menanyakan dan memeriksa keadaan mereka.
"Are you oke?" Tanya Deka pada pengemudi mobil itu.
"I'm ok." jawab si pengemudi yang sedang memegang dahinya itu menoleh.
Deka membelalakan matanya dengan tubuh yang membatu. Jantungnya tiba-tiba berdetak lebih cepat mendapati gadis itu ada di depan matanya. Gadis yang masih saja menjadi pengisi hatinya.
"Leoni?" ucapnya pelan terbata, tak percaya dengan apa yang di lihatnya.
Leoni mengalihkan tubuhnya menghadap pada Bora. Menggeleng kuat dengan mata terpejam. Mungkin dia hanya berhalusinasi. Apa benturannya terlalu keras? Apa dia pingsan lalu bermimpi? Apa dia sekarat? Bahkan rasa nyeri di dahinya kini tak terasa.
"'ukhti jabhatuk tunzif!" (*kakak dahimu berdarah!) pekik seorang gadis palestin yang menyadari darah merembes dari sela jemari Leoni yang masih memegang dahinya. Menyadarkan Leoni dari lamunannya.
"Hah?" gumam Leoni linglung membuka matanya.
"Jangan di lihat!" seru Deka segera membuka pintu mobil itu saat Leoni ingin memeriksa tangannya. Deka dengan cepat menyandarkan tubuh Leoni pada sandaran kursinya. Gadis itu baru sadar tangannya basah. Peringatan Deka tak sempat otaknya tangkap. Matanya telah terlebih dulu menangkap tangannya yang berlumuran darah. Seketika sekujur tubuhnya meremang, menggigil, bergetar halus.
"Gue bilang jangan di lihat!" seru Deka mendongakkan wajah gadis itu. Juga menekan luka Leoni dengan tisu yang ada di dalam mobil itu.
"Le!" panggil Deka saat nafas gadis itu mulai senggal.
"Elo denger gua?!" tanyanya mengeraskan suaranya. Menarik perhatian Leoni.
"Gue.. Gak.." katanya terbata dengan nafas terengah.
"Tarik nafas." pinta Deka. "Tarik nafas yang dalem keluarin. Tenangin pikiran elo. Elo gak apa-apa." ucap Deka tenang ikut menarik nafas menuntun gadis itu.
Leoni menurut memejamkan matanya, menarik nafas lalu menghembuskannya mencoba tetap tenang. Dan terus mengulanginya.
"Elo baik-baik aja. Lo gak kenapa-napa." ucap Deka seperti sedang menghipnotis.
"Gue baik-baik aja. Gue gak kenapa-napa." ulang Leoni sembari memejamkan matanya erat.
"Bagus. Terusin." kata Deka.
Bora di samping mereka tampak lemas memperhatikan keduanya dengan raut khawatir dan agak linglung.
beberapa orang membawa tandu mendekat pada Deka. Deka segera membopong tubuh Leoni dan membaringkannya di atas tandu. Lalu kembali menekan dahi Leoni yang masih mengeluarkan darah. Beruntung klinik ada di seberang jalan. Jadi mereka bisa cepat menangani Leoni.
Bora juga di bantu beberapa orang disana ikut kedalam klinik.
Bora aman. Dia tak mengalami cedera apapun. Dia hanya lemas karena kaget.
Deka segera membersihkan luka Leoni melepas kerudung gadis itu. Ditemani seorang suster yang menyiapkan peralatan juga anti septik dan lain sebagainya.
"Tahan ya. Ini bakal sedikit perih." ucap Deka sebelum mentotolkan kapas yang sudah di basahi oleh cairan anti septik pada lukanya. Leoni mengangguk. Matanya masih terpejam rapat dan semakin merapat saat rasa dingin dan perih mampir di keningnya. Tapi kini dia sudah lebih tenang tak sepanik tadi. Walau tangannya masih sedikit bergetar. Satu tangan mengepal dan tangan yang lain sedang di bersihkan oleh suster yang menemani Deka menangani Leoni.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Eighteen
Teen FictionLeoni si gadis pencak silat pemegang sabuk biru. Murid kelas 11 MIPA 2 di SMAN Nusantara dan dikenal oleh hampir seluruh murid Nusantara. Dia gadis yang suple dan meledak-ledak. Wartawannya mading sekolah. Sering juga bercokol di OSIS. Tapi dari itu...