Setelah 3 hari di rawat kondisi Leoni membaik dengan cepat. Banyak yang menengoknya ke rumah sakit. Membuatnya sedikit bisa tersenyum.
"Ka. Gue mau ketemu sama Dion sekarang." kata Leoni. Saat Deka mengunjunginya di rumah Leoni. Mereka sedang duduk santai di teras belakang rumah Leoni.
"Nanti aja. Lo masih lemah."
"Gue gak tenang Ka. Gue harus ketemu sama dia." Leoni ngotot. Menghadap sepenuhnya pada Deka.
"Hari senin aja. Besok pulang sekolah gue bawa dia kesini." tegas Deka menatap Leoni serius. Tak mau di bantah.
"Gue mau sekarang." ucap Leoni tetep kekeh.
"Tapi Le_"
"Ka. Gue pengen tau semuanya." kata Leoni lemah. Memotong ucapan Deka. "Gue bosen harus minum obat terus kalo mau tidur. Gue mau tenang." lanjutnya menyendu.
Deka menghela nafas kasar. Memalingkan wajahnya dan menarik rambutnya ke belakang dengan gusar.
Dia tak punya pilihan selain menuruti keinginan gadis itu.
***
"Dia ada ngomong apa sama lo dulu?" tanya Leoni setelah cukup lama terdiam saat Dion datang. Mereka duduk di ruang tamu berdua. Berhadapan. Deka memilih menjauh memberi ruang untuk mereka.
"Dia cuma nangis dan gak nyeritain apa-apa." jawab Dion menunduk memainkan jemarinya sendiri. "Gue tanya pun dia hanya menggeleng kuat. Gue bahkan bentak dia karena kesal dia cuma nangis dan gak ceritain apapun." Lanjutnya. Suaranya memberat. "Harusnya gue bisa sadar dan sabar dia memang sulit buat ngungkapin isi hatinya. Gue masih gak percaya dia bisa ngambil keputusan kaya gitu." lirihnya
Dion mengusap wajahnya kasar. Memalingkan wajah tak berani menatap Leoni. Selain rasa bersalahnya atas apa yang terjadi kemarin, juga merasa sakit harus melihat gadis itu lemah.
"Masa dia gak ada cerita?" paksa Leoni menuntut jawaban.
"Harusnya lo yang lebih tau kan? Dia lebih deket sama lo kan dari pada gue?!" balas Dion sedikit mengeraskan suaranya menatap tepat Leoni. Gadis itu menegak dengan tatapan nanar membalas tatapan Dion.
"Sori. Gue gak maksud ngebentak." Ucap Dion melemah.
"Maaf juga atas apa yang terjadi kemarin." kata Dion lagi, menyesali kejadian kemarin.
"Gue gak tau keadaan lo kaya gitu. Gue cuma nyangka lo udah lupa sama apa yang terjadi sama dia. Lo bahagia jalanin hidup. Sedangkan gue. Setiap liat lo tertawa dan tersenyum bahagia gue marah dan hati gue sakit. Akhirnya nyalahin lo atas meninggalnya Kinanti. Nganggep lo terlalu sibuk sama temen-temen baru lo dan ngabaiin dia." Jelas Dion mengungkapkan isi hatinya yang selalu mengganggunya.
Leoni menunduk memejamkan matanya erat dengan tangan yang mengepal kebiasaannya jika ia menahan tangis.
"Gue masih nyalahin diri atas meninggalnya dia" ucap Dion lirih. Pemuda itu hanya tahu kesal dan marah menghadapi Kinanti yang hanya membungkam saat itu.
"Gue gak tau. Lo juga nyalahin diri. Gue lupa lo temenan sama dia lebih lama dari gue. Gue lupa kita kadang sibuk sendiri. Gue gak tau dia menderita sendirian." lirih Leoni terbata semakin merunduk tergorokannya tercekat menyakitkan dengan nafas yang menyesak. Dia tak bisa lagi menahan tangisnya.
Dion beranjak duduk di samping gadis itu dengan ragu menepuk-nepuk pelan pundaknya.
"Kita harus bisa ngiklasin dia Le. Agar dia tenang. Agar kita bisa berdamai dengan diri kita." kata Dion suaranya menyerak. Pandangannya mengembun. Ada air mata yang sekuat tenaga ia bendung. Tak ingin menangis di depan siapapun terlebih gadis itu.
Leoni semakin terisak mendengar ucapa Dion barusan. Hatinya amat teramat sakit. Terbayang lagi wajah pucat Kinanti dengan tubuh bersimbah darah.
Dadanya semakin menyesak nafasnya tersenggal. Gadis itu memegang dadanya yang terasa sakit.
"LE! LEONI!!" Teriak Dion panik menggoyang-goyangkan tubuhnya. "DEKA! KAAA!" panggil Dion semakin panik saat tubuh Leoni melemah.
Secepat kilat Deka mengambil alih tempat Dion. Memasukkan pil ke mulut Leoni dan air putih.
"Le. Leoni ngangguk kalo lo denger gue." Pinta Deka setenang mungkin. Di situasi seperti ini dia tidak boleh ikut panik. Setidaknya itu yang dia pelajari. Deka sudah mengantisipasi diri jika Leoni kembali syok.
Leoni mengangguk lemah dengan mata terpejam.
Deka menghela nafas lega. Itu tandanya Leoni baik-baik saja. Deka dengan sigap menggendong tubuh Leoni ke kamarnya. Membiarkan gadis itu tidur.
"Dia udah gak apa-apa?" tanya Dion cemas langsung menghampiri Deka saat dia melihat Deka keluar dari kamar Leoni.
"Hm. Gak apa-apa. Pas bangun nanti dia bakal baik-baik aja." jelas Deka. "Ini yang gue takutin saat dia minta ketemu sama lo." kata Deka berjalan pergi ke luar rumah itu.
Dion mengikuti Deka yang mendudukkan diri di kursi teras rumah Leoni.
Hening
"Kak Leo kemana. Kenapa elo yang jagain dia?" tanya Dion membuka obrolan. Jengah dengan keheningan yang mengurung mereka.
"Dia ada urusan. Bentar lagi juga pulang." jawab Deka datar. Melirik Dion sekilas di benaknya penuh dengan pertanyaan-pertanyaan yang membuatnya penasaran. Tapi ragu untuk menanyakannya.
"Udah beres masalah sama Leoni?" tanya Deka akhirnya bisa mengungkapkan satuhal dari sekian hal yang ingin dia tahu.
"Gue rasa udah." ucap Dion menghela nafas berat menyandarkan tubuhnya kesandaran kursi.
"Gue yang selama ini nyalahin dia. Dia juga yang selalu nyalahin gue dan kita yang selalu nyalahin diri sendiri. Sampai akhirnya kita saling nyakitin. Gue minta maaf. Gue minta dia ngikhlasin semuanya. Gue mau dia gak sakit lagi saat dia sengaja ato gak sengaja ngeliat gue." Jawab Dion panjang lebar. Menatap lurus halaman rumah Leoni yang luas seperti lapangan, tanpa tamanan hias apapun hanya ada satu pohon rambutan besar di samping rumahnya.
"Gue juga pengen hati gue gak sakit lagi saat liat dia. Terlebih sama lo." lanjut Dion melirik Deka dengan dencihan sinis yang membuat Deka mengerutkan keningnya.
"Kenapa sama gue?" tanya Deka menunjuk dirinya sendiri.
Dion malah tertawa melihat tampang sok polos Deka.
"Gak usah pura-pura bego lo." kata Dion mendelik. Deka jadi menipiskan bibirnya membuang muka.
"Gue milih jadi bego sih." jawab Deka menghela nafas pasrah. Secara tidak langsung mengakui perasaannya. Dion hanya tersenyum tak menanggapi lagi.
"Tapi Yon. Kenapa lo gak dari dulu ngasih surat itu ke Leoni?"
"karena elo yang selalu ngebentengin gue buat ngomong ke dia." jawab Dion seolah menyalahkan.
"Karena dia masih lemah. Baru beberapa bulan dia udah biasa kemana-mana tanpa bawa obat. Sibuk ngurus ini-itu buat dia lupa sama sakitnya. Sampai gue juga lupa masa traumanya dia." balas Deka matanya menerawang memandang kedepan.
"Sampai gue kira dia udah sanggup ngadepin lo. Gue yang nyuruh dia nyampein buku ke kelompok E saat kita jadi panitia. Gue sempet nyesel nyuruh dia harus bisa ngadepin lo. Gue gak tau dia bakal kaya gini lagi." ucap Deka tatapannya tak fokus. Kembali menghela nafas berat.
"Tapi mungkin harus kaya gini dulu biar dia bisa sembuh total. Harus di tuntasin sampe akarnya." sambung Deka setelah berhenti sejenak. "Lo juga." lanjutnya menoleh pada Dion yang sedang menatapnya. Kembali mengalihkan wajah dan menghela nafas untuk kesekian kalinya.
*****
Selamat berbuka puasa bagi yang menjalankan... ^_^ 🙏
KAMU SEDANG MEMBACA
My Eighteen
Roman pour AdolescentsLeoni si gadis pencak silat pemegang sabuk biru. Murid kelas 11 MIPA 2 di SMAN Nusantara dan dikenal oleh hampir seluruh murid Nusantara. Dia gadis yang suple dan meledak-ledak. Wartawannya mading sekolah. Sering juga bercokol di OSIS. Tapi dari itu...