05

42 5 1
                                    

"Kak Rudy." panggil Leoni menghampiri panitia kelompok E. Rudy menoleh begitupun Dion dan Lisa juga menoleh.

"Ini buku kelompok E." Leoni menyodorkan buku di tangannya itu yang di terima oleh Rudy dengan kerutan di keningnya. "Itu tadi gue tanda tangannya telat. Jadi yang belum bukunya di kumpulin di gue." jelas Leoni lurus menatap Rudy tanpa memperdulikan pemuda yang sedari tadi menatapnya. Bukan Leoni tak tahu hanya tak ingin berurusan lagi dengannya.

"Oh. Oke makasih." jawabnya tersenyum manis. Membuat Leoni mau tak mau tersenyum membalas. Lalu pamit. Melambai pada Lisa sesaat sebelum beranjak.

Baru beberapa langkah Leoni pergi. Ia tersentak ada yang menggamit tangannya. menariknya begitu saja menjauhi lapangan.

"Lepasin! Apa sih lo narik-narik. Siapa lo?!" bentak Leoni menepiskan kasar tangannya sampai genggaman pemuda berkulit putih itu terlepas. Mereka sudah jauh dari lapangan upacara. Pemuda itu menghadap sepenuhnya pada Leoni.

"Kita perlu bicara." Ucap Dion lembut.

"Gak ada yang perlu kita omongin lagi." tukas Leoni melengos lelah. Ini yang gak di inginin Leoni kalau bertemu dengan pemuda itu. Dion selalu menganggap antara dia dan Leoni masih harus ada yang di bahas.

"Kenapa? Apa yang lo mau dari gue?" tanya Leoni gusar berkacak pinggang mendongak menatap lurus pemuda jangkung itu.

"Gue cuma mau lo dengerin penjelasan gue."

"Penjelasan apa? Tentang lo yang selingkuh sama temen baik gue satu-satunya? Tentang lo yang nyalahin gue. Padahal lo yang jelas banget yang salah!" bentak Leoni tertahan dengan emosi yang siap meledak.

"Kenapa lo selalu mikir gue selingkuh? Gue bisa jelasin kena_"

"Kenapa gue harus tau ato harus dengerin penjelasan dari lo. Setelah apa yang gue lihat dengan mata kepala gue sendiri." potong Leoni tak habis pikir dengan jalan pikiran makhluk di hadapannya ini.

"Lo egois Le. Lo sibuk sama urusan lo. Lo selalu ngilang saat dia atau gue butuh. Lo lebih sering sama si Deka. Lo gak pernah mikirin gue. perasaan gue." balas Dion tajam.

"Plis dengerin gue sekali ini aja. Gue sama Kinanti_"

"Jangan nyebutin nama dia dengan mulut lo. Gue gak ikhlas nama dia keluar dari mulut lo. Sadar gak lo? Elo udah nyakitin dia. Nyakitin gue. Yang lebih parah lagi. Pernah gak lo minta maaf tulus pake hati lo sama gue? Tanpa nyalahin gue? Pernah lo minta maaf sama Kinanti sebelum dia pergi? Pernah gak?" Cecar Leoni suaranya bergetar menahan isak. Sekuat tenaga ia menahan agar air matanya tidak menetes.

"Gue mohon biarin gue jelasin apa yang terjadi." pinta Dion memelas. Dia memohon dengan sungguh-sungguh.

"Lo gak tau gimana sakitnya gue kehilangan dia." lirih Leoni memalingkan wajah saat air matanya menetes tak bisa lagi ia tahan.

Dion jadi mematung. Lidahnya kelu tak sanggup ia gerakan. Ia menelan ludahnya getir. Kenapa begitu sulit baginya untuk meluruskan kesalah pahaman meraka. Kenapa baru menyadari betapa terlukanya gadis yang kini menahan tangis di hadapannya kini. Dia yang selalu terlihat ceria seolah baik-baik saja membuat Dion terusik dan marah. Bagaimana dia bisa baik-baik saja saat sahabat baik mereka sudah tak ada di dunia ini lagi.

"Kak?" panggil seorang siswa membuat Leoni dengan cepat menghapus pipinya yang basah. Begitu pula Dion yang mengalihkan wajahnya sesaat bendeham pelan sebelum menoleh pada sumber suara yang entah memanggil siapa.

"Udah mau upacara penutupan." katanya. Leoni berbalik menatap pemuda yang memanggilnya.

"Oh Iya. ayo balik." ucap Leoni meninggalkan Dion begitu saja. Menarik adik kelasnya yang juga muba di bawah pengawasannya itu.

My EighteenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang