Leoni mampir ke ruang jurnalis sebelum pulang. Seperti biasa hari Rabu ia tak bisa pulang sore.
"Pas. Tolong urus ya. Ini nanti kalo udah lansung kirim ke email gue buat di umumin besok." kata Leoni menyerahkan jadwal kasar perlombaan selanjutnya untuk futsal dan yang lainnya. Hasil rapat tadi dengan OSIS.
"Lo balik sekarang?" tanyanya menerima catatan dari Leoni.
"Hm." gumam Leoni sembari mengangguk.
"Sama siapa?"
"Abang gue jemput." jawabnya lalu mengedarkan pandangan kesemua yang ada. "Gue duluannya." pamitnya kembali memakai sepatunya asal injak.
Dia berjinjit sembari berjalan memakai sepatunya. Semenjak ia bertengkar dengan Deka. Sekolah terasa sesak untuknya. Ia ingin segera pergi dari sana.
Di ujung tangga Leoni berpapasan dengan Chandra dan Esther. Mereka mendongak bersamaan. Leoni hanya tersenyum pada Esther, tidak pada Chandra.
"Pulang kak?" tanya Esther.
Leoni hanya bergumam dan mengangguk.
"Gue anter." kata Chandra menawarkan diri.
"Duluan ya." pamitnya pada Esther. Kembali berjalan melewati mereka. Dia sama sekali tak menanggapi Chandra. Menganggap dia ada pun tidak.
"Elo kemaren ngapain sih?" tanya Esther menoleh pada teman sekelasnya itu. Esther tak tahu apapun karena dia langsung pulang begitu sekolah bubar.
"Gue cuma nimbrung bikin suasana tambah rame." jawabnya dengan dahi berkerut samar. "Kayanya gue keterlaluan deh." gumamnya baru sadar diri.
Esther memutar bola matanya kembali berjalan menaiki tangga tak ingin peduli.
"Es titip dong." katanya menyodorkan ranselnya. Esther menoleh mengeryitkan keningnya.
"Mau kemana?" tanya Esther menerima ransel Chandra.
"Emak kita kalo marah gue jadi tak kasat mata." kata Chandra sambil tersenyum. Esther tertawa geli baru menyadari itun mengeleng kecil lalu kembali menaiki tangga.
"Jangan di liatin aja. Samperin dong." kata Esther menghampiri kakaknya yang sedang bersandar di pempatas koridor di depan ruang musik. Menatap Leoni yang di ikuti Chandra.
"Si Onta ngapain ngikutin ketua kamu?" tanya Deka menoleh pada adiknya.
"Dia gak di gubris dari kemarin. Dia bilang berasa jadi hantu. Gak kasat mata." kata Esther terkekeh kecil. "Liat tuh kak Leoni sama sekali gak nanggepin Chandra."
Deka tak menanggapi lagi hanya menghela nafas saja berbalik, menyandarkan punggungnya di pembatas.
"Maju dong Bang. Perjuangin jangan diem aja. Entar ilang lho." Ucap Esther menyemangati sekaligus menakuti.
Deka menyunggingkan sebelah bibir atasnya mengejek. "Udah sana kamu masuk." katanya mendorong kedua bahu Esther, berjalan ala main ular-ularan mengantar sampai depan pintu Jurnalistik. Mengacak kepala belakang adiknya sesaat lalu kembali masuk ke ruang musik dengan bahu menurun.
***
Leoni terus berjalan walau di halangi oleh Chandra.
"Kak. Gue minta maaf beneran. Gue gak tau situasinya bakal se'wah' itu." katanya terus mengikuti Leoni yang berjalan cepat menuju gerbang utama.
Sesampainya di luar, mobil Leo belum terlihat. Leoni menghentakkan kakinya kesal. gadis itu dengan wajah yang di tekuk menyalakan ponselnya. Menghubungi seseorang.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Eighteen
Teen FictionLeoni si gadis pencak silat pemegang sabuk biru. Murid kelas 11 MIPA 2 di SMAN Nusantara dan dikenal oleh hampir seluruh murid Nusantara. Dia gadis yang suple dan meledak-ledak. Wartawannya mading sekolah. Sering juga bercokol di OSIS. Tapi dari itu...