Sharah duduk lemas di ruang jurnalis dengan Resya yang duduk di sampingnya tangannya bergetar kecil masih terbayang tubuh Leoni yang melunglai tak berdaya. Mawar, Lisa, Jinan, Bobi, Rudy, Juno, Jia bahkan Chandra yang terduduk di samping Esther yang masih sesenggukkan di peluk Ola. Semua yang ada di lokasi kejadian dan mengenal dekat Leoni berkumpul di situ. Mereka terduduk di lantai semua. Tak ada yang bicara. Sibuk dengan pikirannya masing-masing.
Sharah memegang ransel Leoni dan sepucuk surat yang ia temukan didekat tempat tadi Leoni pingsan. Air mata gadis itu menetes kembali dengan isak tertahan. Dia sempat membaca surat itu. Hatinya ikut merintih saat membacanya tadi. Tahu Leoni dari pertama kali masuk SMA dan dia pun tahu sedikit-sedikit tentang kisah gadis itu.
Tapi kini dia menyadari betapa fatalnya trauma yang di derita sahabatnya itu.
Jinan mendekati Sharah berjongkok di depannya, menepuk-nepuk pundak gadis itu pelan menenangkan.
"Shar. Lo tau sesuatu kan tentang Leoni. Lo tau kenapa Leoni bisa kaya gitu?" tanya Jinan lembut menatap Sharah.
Sharah hanya menggigit bibir bawahnya terisak semakin keras.
Jeni mendekat memeluk Sharah. Membiarkan gadis itu menangis di pelukkannya. Semua siswi yang ada disana kembali terisak dalam diam mendengar isakkan keras Sharah.
"Sharah. Denger. Kita perlu tau apa yang terjadi pada Leoni agar kita bisa ngelindungin dia kedepannya." kata Jinan setelah isak Sharah mereda.
Sharah melepaskan diri dari pelukan Jeni. Perlahan ia mencoba menguasai dirinya kembali. Mengenduskan hidungnya. Jeni sigap memberikan tisu padanya.
"Dulu Leoni sempet depresi." ucap Sharah parau. Semua yang ada di sana menegak mendengarkan. Tak seorangpun menyangka gadis seceria dan berani Leoni pernah mengalami depresi parah.
"Trauma akibat temen deketnya bunuh diri. Setelah mereka bertengkar."
"Setelah marah Leoni reda. Leoni mutusin nemuin temannya itu. Tapi sampai di rumahnya Leoni nemuin dia udah berlumuran darah dan gak bernafas di kamar mandinya." Sharah berhenti bercerita. Menghela nafasnya berat.
"Emang di rumahnya gak ada orang. Kok bisa Leoni yang nemuin?" tanya Lisa penasaran.
"Dia sama Leoni bisa di bilang senasib. Orang tuanya cerai dan ibunya sibuk kerja. Bedanya Leoni punya kakak yang ngelindungin dia. Sedangkan temennya engga.
"Sejak saat itu Leoni syok berat dan dia terus nyalahin dirinya sendiri. Dia hanya diam tak merespon siapapun yang berkunjung juga tak bicara kepada siapapun. hampir satu bulanan dia hidup hanya karena masih nafas aja. Bayangin dia yang nemuin temen deketnya dari pas masuk SMP sampai saat itu dalam keadaan yang mengenaskan. Leoni bener-bener hancur.
"Deka yang memang udah deket dari kita di MOS tiap hari datengin dia. Ngehibur dia. Nemenin dia terapi ke spikiater. Kalian tau kan pas awal kelas 10 Leoni absen sampe beberapabulannan? Kadang gue nemenin Deka tapi gak sesering dia."
Semua diam. Mendengarkan. Tak ada yang berani memotong.
"Sampai dia bisa bangkit dan kembali ceria seperti yang kita kenal sekarang. Bahkan gue lupa dia pernah ngalamin hal berat saat melihat tingkahnya yang sering banget ngeselin." kata Sharah suaranya semakin mencicit. Matanya kembali mengembun.
"Terus apa hubungannya sama Dion? Kenapa Deka mukulin Dion?" tanya Mawar yang kenal dekat degan Dion karena pernah 1 kelas di kelas 10.
Sharah menghela nafas dalam dan berat.
"Gue gak tau apa gue berhak nyeritain ini ke kalian. Itu masalah pribadi mereka." ucap Sharah enggan untuk bercerita. Takut mereka akan menyerang Dion.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Eighteen
Teen FictionLeoni si gadis pencak silat pemegang sabuk biru. Murid kelas 11 MIPA 2 di SMAN Nusantara dan dikenal oleh hampir seluruh murid Nusantara. Dia gadis yang suple dan meledak-ledak. Wartawannya mading sekolah. Sering juga bercokol di OSIS. Tapi dari itu...