"Duduknya tegak. Bahunya lemesin. Pegangnya jangan kenceng-kenceng. Jangan kaku gitu." kata Deka duduk di kursi penumpang sebelah Leoni yang sedang belajar menyetir. Tapi Leoni sama sekali tidak menurut. Duduknya masih kaku condong kedepan dengan kedua tangan menggengngam erat setir mobil dengan wajah gugup menjalankan mobil dengan sangat pelang.
"Punggungnya nempel ke kursi! Tangannya jangan kaku gitu!" seru Deka sudah kesal dari tadi.
"GAK BISA! GUE TAKUT!" balas Leoni tanpa menoleh.
"INI TUH JALAN LURUS ONIIII! KENAPA LO JALANINNYA MIRING?!"
"YA MANA GUE TAU!!!"
"Duduknya gak usah condong gitu!" serunya gemas menarik pundak Leoni agar merapat ke kepala kursi atau setidaknya tidak menempel ke setir. Leoni hanya sesaat menegak lalu perlahan kembali memajukan tubuhnya.
Mereka belajar di jalan kompleks rumah Leoni. Sesuai janji Deka yang akan mengajari Leoni menyetir saat liburan semester. Tentunya setelah mendapat izin dari dokter juga Leo. Karena keteguhan Leoni yang sekarang jauh lebih stabil dan bisa di bilang sembuh. Tak lagi bergantung pada obat walau insomnianya kadang kambuh. Tapi ia bisa menangani itu dengan menenangkan diri atau meminta bantuan sekitar.
Deka dengan dongkol menjambak rambutnya frustasi.
"KAA INI GIMANA?! MOBILNYA MAKIN KEPINGGIR!!" pekik Leoni panik, makin mencondongkan tubuhnya melihat depan mobilnya dan bukan jalan yang di lihat Leoni.
"REM! REM!! BERENTI!" bentak Deka. Leoni langsung menginjak rem. Mobil berhenti dengan tidak mulus sampai Deka agak terantuk kedepan.
Dengan kesal Deka turun cepat dari mobil, membanting pintu mobil keras. Berteriak gila memegang kepalanya frustasi.
Leoni jadi mengkerut di dalam mobil. Menghela nafas ikut frustasi. Merayap turun dari mobilnya. Menghampiri Deka yang berjongkok di samping mobil masih meremas rambutnya.
1 jam Deka ngajarin masih sabar, masih gak apa-apa. Ini udah hampir 4 jam dan Leoni masih begitu-begitu aja. Teorinya cepet hapal, giliran prakteknya gak bisa-bisa.
"Lo gak usah belajar nyetir lah. Buat apa?" kata Deka mendongak lelah.
Leoni mencuatkan bibirnya kesal tapi juga kasihan melihat Deka yang rambutnya berantakan, berjongkok mendongak menatapnya.
"Ya udah. Gak usah ngajarin gue lagi aja." kata Leoni ketus. "Besok gue minta Bang Leo aja yang ngajarin." lanjutnya dengan wajah yang di tekuk.
"Dih ngambek." ledek Deka berdiri dari jongkoknya. "Jelek banget ngambekan." ucapnya mencubit hidung mungil gadis itu dengan senyum yang mengembang. Leoni semakin cemberut menepis tangan Deka.
"Gak usah cubit-cubit." kata Leoni masih ketus mengusap hidungnya yang di cubit Deka.
"Kalo cium-cium boleh?" ucap Deka dengan kerlingan jailnya. Menggoda gadis itu.
Leoni langsung membelalakan matanya, termundur kecil memasang kuda-kuda mengacungkan tinjunya. Deka tergelak melihat tingkah refleks gadis itu dengan wajah yang merenggut bersemu merah.
Pemuda itu dengan senyum tenangnya meraih kepalan tangan Leoni. Menggenggamnya.
"Cari makan yuk." ajaknya menarik Leoni. Membukakan pintu mobil untuk gadis itu.
Walau mendencih Leoni menurut saja di tarik Deka kembali menaiki mobil. Tapi kini dia yang jadi penumpangnya dan Deka yang mengemudi.
Deka menjalankan mobil keluar dari perumahan, memasuki jalan besar.
"Mau makan apa?" tanya Deka melirik Leoni sesaat.
"Ketoprak." jawab Leoni enteng.
"Elo kan gak suka bawang putih." tukas Deka.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Eighteen
Teen FictionLeoni si gadis pencak silat pemegang sabuk biru. Murid kelas 11 MIPA 2 di SMAN Nusantara dan dikenal oleh hampir seluruh murid Nusantara. Dia gadis yang suple dan meledak-ledak. Wartawannya mading sekolah. Sering juga bercokol di OSIS. Tapi dari itu...