BRANDON
Papa apa-apaan sih pakai tanya itu segala sama Iin? Tadi pagi aku sudah bilang kalau kami hanya berteman, tidak lebih.
"Pa?" protesku dengan wajah mengerucut.
"Kenapa, Bran? Papa sekarang tanya sama Arini lho," sahut Papa.
Aku memalingkan paras ke arah Iin yang sama terkejut denganku. Matanya berkedip pelan seiringan dengan bibir yang terbuka sedikit. Ekspresinya lucu sekali membuatku ingin tertawa. Kepala Arini menggeleng dengan cepat. Kedua tangan digoyangkan di depan tubuh.
"Nggak, Om. Aku sama Brandon cuma temenan aja, nggak lebih," jelas Iin membuatku mengembuskan napas lega.
Papa sepertinya masih belum percaya, tergambar jelas dari wajahnya. "Benar kamu sudah punya pacar?"
"Eh?" Iin hening sesaat, matanya kembali mengedip.
Papa masih menunggu jawaban Iin, begitu juga dengan Mama.
"Iya, Om. Mahasiswa semester dua," jawabnya cepat.
Mata hitam kecil Papa menyipit, kepalanya sedikit miring ke kanan. Sementara Mama memperlihatkan raut wajah kecewa. Jangan bilang beliau ingin aku dan Iin pacaran. Ck!
"Aneh ya, biasanya anak juara seperti kamu tidak mau pacaran, karena fokus dengan pelajaran," komentar Papa.
Arini tertawa. "Benar, Om. Pacaran buang-buang waktu aja, bisa ganggu konsentrasi belajar juga."
Keningku berkerut mendengar perkataan Iin barusan. Aku rasa Papa dan Mama juga sama bingung denganku sekarang.
"Tapi kalau dibawa kepada hal positif ya bisa menambah semangat belajar juga, Om," sambung Iin beberapa detik kemudian sambil tersenyum aneh.
"Tetap saja kalau masih sekolah jangan pacaran dulu, Arini. Belajar yang benar," nasihat Papa.
Iin hanya nyengir sambil menganggukkan kepala lagi.
Papa kemudian memberikan pertanyaan lainnya, seperti daerah asal keluarga Iin, pekerjaan kedua orang tuanya dan berapa orang bersaudara. Beliau mungkin ingin mengetahui lebih banyak tentang teman baruku ini. Barangkali khawatir juga jika aku berteman dengan orang yang berasal dari keluarga tidak baik.
"Om berharap banyak dari kamu ya, Arini. Tolong bantu Brandon meraih nilai yang bagus. Kalau bisa kelas dua nanti, dia masuk kelas B atau C," pinta Papa penuh harap.
"Insya Allah, Arini usahakan, Om," tanggap Iin.
"Awasi juga kelakuannya di sekolah. Om khawatir kalau Brandon bikin ulah lagi."
Arini malah terkekeh mendengar perkataan Papa. "Maaf, Om. Arini nggak bermaksud tertawa."
"Brandon di sekolah bikin ulah ya?" selidik Papa.
Iin menggelengkan kepala cepat. "Nggak kok, Om. Dia anak yang baik walau kadang menyebalkan sih," akunya menahan tawa.
"Kamu simpan nomor ponsel, Om. Kalau Bran aneh-aneh di sekolah, langsung kabari Om." Papa memberikan nomor ponselnya kepada Iin.
Apalagi sih Papa? Ingin Iin jadi mata-matanya ya? Hufh!
Ingin sekali rasanya melayangkan protes, namun ditahan. Aku harus menjadi anak baik sekarang, demi PS3 yang didambakan.
Aku hanya bisa pasrah saat Iin dan Papa saling bertukar nomor ponsel. Mulai saat ini benar-benar harus menjaga sikap. Khawatir juga jika dia melaporkan tindakan burukku kepada Papa.
"Mama mau masak makan siang nggak?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.
Mama mengalihkan pandangan melihat jam dinding. "Iya, sebentar lagi. Kenapa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
JUST FRIEND (Trilogi JUST, seri-1)
Teen FictionFollow akun penulis dulu yuk, sebelum dibaca ^^ Sebuah kesalahpahaman membuat Brandon dan Arini saling membenci. Sebuah kejadian lain membuat keduanya menjadi dekat, JUST FRIEND. Sebuah keputusan, kemudian memisahkan mereka, setelah menjalin persaha...