ARINI
Gue mengembuskan napas begitu sampai di luar kamar. Apa-apaan tuh si Bran pakai ngomong kayak tadi? Bikin deg-degan saja. Nyaris pingsan karena kaget tadi. Telapak tangan kini menempel di dada bagian kiri yang masih berdetak kencang.
Kaki langsung berlari kecil menuruni anak tangga, beranjak menuju dapur yang ada di villa. Mama dan Tante Lisa pasti sudah berada di sana sekarang. Benar saja. Ketika gue sampai di dapur, mereka sudah berjibaku dengan berbagai bahan mentah yang akan diolah menjadi makan siang.
"Udah lama ya, Ma, Tante?" tanya gue setelah berdiri di dapur.
"Baru mulai masak. Bantuin, Ri," jawab Mama sekaligus meminta bantuan.
"Aman."
Gue langsung mengambil satu ikat kangkung dan memotongnya kecil-kecil sebelum ditumis.
"Enak ya punya anak perempuan, jadi bisa bantu di dapur." Tante Lisa bersuara.
"Iya, Mbak. Apalagi Ari rajin sekali masak. Pulang sekolah dan ketika libur, selalu dia yang masak," sahut Mama.
"Saya tidak menyangka lho Arini bisa masak. Padahal masih kelas satu SMA."
Gue hanya tersenyum mendengar kedua Ibu-ibu ini berbincang.
"Ari sudah diajarkan masak dari kelas lima SD, Mbak. Apalagi anak perempuan satu-satunya."
"Senangnya. Sayang sekali saya tidak diperbolehkan hamil lagi oleh dokter, Uni." Nada suara Tante Lisa terdengar sendu, sehingga kepala ini spontan menoleh ke arahnya.
"Dua tahun setelah Brandon lahir, saya sempat hamil. Usia kandungan enam bulan terjatuh karena tidak hati-hati, sehingga janin meninggal. Sejak saat itu dokter menyarankan untuk tidak hamil lagi, karena bisa membahayakan diri saya," jelas Tante Lisa dengan iras sedih.
Baru tahu kalau Bran ternyata punya adik. Dia nggak pernah cerita sebelumnya.
"Semua sudah diatur sama Allah, Mbak. Dia pasti memberikan yang terbaik untuk kita." Mama mengusap lembut punggung tangan Tante Lisa.
"Benar, Uni. Saya beruntung punya anak seperti Brandon yang penyayang." Tante Lisa mengulurkan tangan kepada gue. "Sekarang ada Arini juga yang sudah dianggap seperti anak sendiri."
Beliau menggenggam lembut tangan ini sambil tersenyum manis. Gue hanya menunduk malu-malu tersenyum kucing.
"Maaf ya jika saya nanti merepotkan Arini minta ditemani belanja, Uni," ucap Tante Lisa.
Mama mengibaskan tangan sambil tertawa pelan. "Tidak masalah, Mbak. Saya khawatir malah Ari yang merepotkan Mbak Lisa nanti."
Tante Lisa memegang dagu ini. "Anak cantik seperti Arini tidak pernah merepotkan, Uni. Saya senang ajak dia jalan-jalan malah."
Percakapan terus berlanjut sembari memasak. Ada-ada saja yang menjadi pembahasan kedua Ibu-ibu ini di dapur. Gue memilih fokus memasak, meski masih menanggapi sekedarnya.
Tiga puluh menit berlalu, kini tibalah waktu makan siang untuk kami sekeluarga. Meja makan di villa ini cukup menampung sepuluh orang. Ternyata Om Sandy punya villa yang gede juga, ada lima kamar. Kata Brandon sih, ini baru salah satu villa yang dimiliki keluarganya. Masih ada villa-villa lain yang ada di kawasan di puncak, Bandung dan Bali.
Keluarga Harun memang tajir melintir. Tante Lisa hebat banget, bisa berperan di belakang layar membantu kesuksesan sang Suami. Kata Brandon lagi, Mamanya lebih suka di belakang tanpa harus menduduki jabatan di perusahaan.
"Ini pasti masakan Arini," tebak Om Sandy menunjuk ayam richa-richa kesukaan gue.
"Kok tahu, Om?" tanya gue heran.
KAMU SEDANG MEMBACA
JUST FRIEND (Trilogi JUST, seri-1)
Teen FictionFollow akun penulis dulu yuk, sebelum dibaca ^^ Sebuah kesalahpahaman membuat Brandon dan Arini saling membenci. Sebuah kejadian lain membuat keduanya menjadi dekat, JUST FRIEND. Sebuah keputusan, kemudian memisahkan mereka, setelah menjalin persaha...