BAB 57: Kegundahan Hati

111 19 11
                                    

ARINI

Enam bulan rasanya berlalu dengan lambat. Berat banget dijalani, apalagi sejak jaga jarak dengan Bran. Kalian jangan berpikir gue menjauh karena dia tidur dengan Moza. Sungguh, diri ini nggak akan pernah meninggalkan Brandon hanya karena itu.

"Mulai besok, kamu tidak perlu bertemu lagi dengan Brandon! Pergi dan pulang kuliah juga tidak boleh dengannya!" tegas Papa selang satu hari setelah pertengkaran dengan Bran.

"Kenapa, Pa? Biasanya Papa nggak pernah larang Ari ketemu sama Brandon," tanya gue heran.

"Dia bukan pria baik-baik lagi sekarang. Papa kemarin lihat Brandon keluar dengan seorang wanita dari hotel berpelukan," jawab Papa membuat mata ini melebar.

Apa kemarin Papa sedang pelatihan di hotel yang sama dengan tempat Bran tidur dengan Moza? Beliau sering melakukan pelatihan di ballroom hotel.

"Tapi bisa jadi dia ke sana bertemu dengan seseorang, Pa," bela Mama.

"Brandon sekarang tidak sama lagi dengan Brandon yang kita kenal dulu, Asma. Dia sudah rusak. Apalagi perempuan itu sepertinya bukan perempuan baik-baik. Pakaiannya saja—" Papa mengusap keras wajahnya kemudian beristigfar.

Gue nggak bisa memberikan pembelaan apa-apa, karena yang dikatakan oleh Papa benar.

"Kenapa kamu diam saja, Ri? Apa itu benar?" Mama mulai panik melihat gue diam.

Kepala ini menunduk dalam sambil melihat kedua tangan yang saling bertautan erat di atas paha.

"Astaghfirullah," ucap Mama.

"Kamu sudah tahu tapi masih saja pergi dengan Brandon. Bagaimana kalau kamu juga ikutan rusak?" tukas Papa memberi penekanan pada kata rusak.

"Brandon nggak pernah macam-macam sama Ari, Pa. Dia malah menjaga Ari," sanggah gue nggak mau Brandon terlihat begitu buruk di depan Papa.

Papa mendengkus keras. "Intinya Papa tidak mau lihat kalian bergaul lagi. Kalian sudah sama-sama dewasa, harus ada batasan dalam berteman. Mulai sekarang Papa larang kamu pergi dengan Brandon. Titik!"

Sekarang kalian sudah tahu bukan, apa alasan mendasar menjauh dari Bran? Sungguh hati ini berat melakukannya. Nyatanya, gue masih saja melihat ke arah Brandon meski dari jauh.

Seperti sekarang netra ini melihat dia sedang berbicara dengan teman yang dekat dengannya sejak kuliah. Gue rindu canda tawa Brandon, ledekan dan semua kebahagiaan yang pernah diukir bersama selama enam tahun belakangan. Tapi gue nggak mau juga jadi anak durhaka yang melanggar larangan orang tua.

Saat ini hanya berharap Brandon bisa bahagia dengan Moza. Wanita yang sangat dicintainya dengan sepenuh hati. Apalagi mereka akan menikah dalam waktu dekat. Paling nggak, gue merasa lega karena akan ada yang menjaga Bran nanti.

"Habis ini nggak ada kuliah lagi. Kamu mau pulang sekarang, Rin?" ujar seorang teman satu angkatan menyentakkan lamunan.

"Eh? Kalian duluan aja. Gue mau pergi ke suatu tempat dulu," sahut gue tersenyum ringan.

"Ya udah. Kami duluan ya. Bye!" pamit salah satu teman gue sebelum beranjak.

Gue hanya bisa melihat mereka menghilang di ujung koridor fakultas. Setelahnya, kaki ini melangkah menuju sisi berlawanan agar tidak melewati Brandon saat keluar dari fakultas.

Kalian tahu ke mana gue ingin pergi? Pantai. Satu-satunya tempat yang bisa bikin suasana hati menjadi tenang adalah pantai. Gue suka melihat birunya air laut dan ombak yang berkejar-kejaran, rasanya tentram dan damai.

Bermodalkan tabungan yang ada, gue memilih ke sana dengan taksi. Terlalu lama jika naik busway atau bus kota. Banyak ngetem dan transit juga. Baru berdiri di depan gerbang masuk kampus, tampak taksi berlogo burung biru lewat. Tangan langsung diulurkan ke depan menghentikannya. Syukurlah taksi ini kosong, sehingga nggak perlu menunggu lama lagi.

"Ancol ya, Pak," kata gue begitu duduk di dalam taksi.

"Sekalian ini biaya tol dan tiket masuknya," sambung gue menyerahkan satu lembar lima puluh ribu kepada supir.

Gue pengin tiduran sebentar menenangkan pikiran yang kalut. Terlalu banyak yang bergelayut di otak ini sekarang. Salah satunya pernikahan Bran dan Moza. Apakah Tante Lisa pada akhirnya menyetujui hubungan mereka?

"Tante tidak suka dengan Moza, Rin," ungkap Tante dua hari setelah gue janji ke Menteng Dalam waktu itu.

Pada akhirnya gue menelepon beliau mengatakan nggak bisa datang, karena sudah kesorean. Kami bertemu dua hari setelahnya ketika menemani Tante belanja di mall.

Ternyata bukan gue saja yang merasa ada yang aneh dengan Moza, Tante Lisa juga. Beliau tidak bisa menerima kehadiran pacar Brandon itu di tengah keluarganya.

Ah, ngapain dipikirkan, In? Kali aja Tante Lisa berubah pikiran, 'kan? Tahu sendiri Brandon keras kepalanya kayak apa? bisik hati ini.

Ngomong-ngomong tentang Tante Lisa, gue kangen banget sama beliau. Om Sandy juga. Apa kabar mereka sekarang?

Gue memejamkan mata ketika ingat dua bulan lagi Papa pensiun, artinya setelah itu keluarga gue akan pulang kampung ke Bukittinggi, Sumatera Barat. Uda David memilih ikut ke kampung halaman dengan kedua orang tua. Donny juga menyusul setelah itu. Keduanya berencana akan mencari pekerjaan di Padang. Sementara diri ini masih belum memutuskan apakah akan ikut mereka atau tetap berada di Jakarta?

Terlalu banyak hal terjadi belakangan ini membuat kepala pusing. Berharap setelah tiba di pantai, pikiran bisa menjadi lebih tenang.

Dua puluh menit kemudian, taksi memasuki kawasan Ancol. Begitu tiba di tempat biasa duduk dengan Bran, gue langsung turun dari taksi. Senyuman terukir di wajah ketika ingat kebersamaan dengan Bran di sini.

Tangan membentang lebar seiringan dengan mata terpejam. Gue merasakan angin laut bertiup lembut menerpa wajah. Ah, betapa rindunya dengan suasana ini. Setelah menghirup udara pantai, gue duduk lagi di bangku yang ada di bawah pohon rindang.

Pandangan beralih ke sisi kosong yang biasa ditempati Bran ketika ke sini.

"Gue kangen lo, Bran. Lo kangen nggak sama gue?" bisik gue sambil membelai ruang kosong yang ada di samping.

Gue mellow lagi sekarang. Mata mulai menghangat saat hati terasa perih. Apalagi ketika ingat bagaimana gigihnya Bran menghubungi enam bulan belakangan. Nggak ada satupun pesan yang dibalas.

"Andai lo ada di sini, Bran. Pasti gue nggak akan nangis kayak gini," lirih gue lagi.

Keinginan menenangkan hati di pantai malah membuat air mata berderai tanpa bisa dibendung lagi. Beruntung siang ini pantai masih sepi, sehingga gue bisa menumpahkan semua kesedihan yang terasa. Tangan hanya bisa memukul pelan dada ketika terasa sesak, berharap sakit ini bisa terobati dengan kehadiran Bran di sini.

Nggak lama kemudian, gue menangkap sesosok pria berperawakan mirip dengan Bran. Apa hanya halusinasi saking rindu dengannya? Kening berkerut seiringan dengan mata menyipit berusaha fokus mematut pria itu.

Pakaian yang dikenakannya sama dengan yang dikenakan Bran tadi di kampus. Apa itu benar-benar Brandon?

Gue berdiri lalu melangkah ke arahnya. Pria itu mempercepat langkah ketika melihat diri ini mendekat. Senyuman terukir di paras pria yang mirip dengan Brandon. Saat jarak di antara kami terpangkas, wajahnya semakin jelas.

"In?"

"Bran?" sapa kami secara bersamaan.



Bersambung....

Ehemmm... ehemmm :D

JUST FRIEND (Trilogi JUST, seri-1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang