ARINI
Sudah berapa jam terkurung di sini? Tiga atau empat jam? Tubuh sudah mulai lemas. Panas, lapar dan haus menjadi satu. Belum lagi gelap bikin sesak napas. Coba kalian bayangkan gimana kondisi gue sekarang.
Saking lemasnya, gue sampai ketiduran entah berapa lama hingga tersentak karena mendengar bunyi ringtone ponsel dari luar. Nada dering ponsel itu terdengar seperti milik Bran, bagian reff lagu Linkin Park yang berjudul 'Numb'. Ah, gue pasti lagi berhalusinasi saking frustasinya.
Wait! Kayaknya memang lagi nggak berhalusinasi, ini nyata. Sekarang terdengar samar suara seseorang sedang menelepon, karena komunikasi terjadi satu arah. Meski nggak tahu siapa itu, gue ngesot menuju pintu gudang.
Jangan bayangin ada suster ngesot yang ikutan di samping gue, mana gelap jadi nggak bisa lihat apa-apa. Untuk beringsut ke pintu aja kudu meraba dengan susah payah. Mereka jahat banget sampai ikat tangan ini ke belakang dan kaki juga.
Setelah merasakan permukaan kayu yang lebar di samping dinding, akhirnya dicoba benturkan lengan di pintu agar menimbulkan bunyi. Sekuat tenaga gue mencoba menimbulkan kegaduhan di dalam sini, agar siapa saja yang ada di luar sana bisa mendengarkan.
Nggak lama kemudian terdengar langkah kaki mendekat ke gudang. Gue terus berusaha membuat bunyi dengan menendangkan kaki di pintu, karena ini yang bisa memproduksi bunyi lebih keras.
"In?" Terdengar suara yang sudah nggak asing lagi memanggil dari luar.
Brandon? Itu pasti Brandon. Ya Tuhan, ngapain dia ada di sini sekarang? Padahal sudah malam, batin gue antara girang dan deg-degan.
Apa dia lagi cari gue? Bran datang tolongin gue?
"In?" panggilnya lagi.
Gue semakin mengeraskan tendangan di pintu, berharap dia tahu kalau ada orang yang dikurung di dalam sini. Tiba-tiba terdengar suara sesuatu terjatuh di luar dan dalam hitungan detik pintu terbuka. Tangis langsung pecah waktu lihat Brandon muncul di sela pintu.
Dia bergegas menghampiri gue dengan raut wajah lega. "Akhirnya gue bisa temukan lo, In."
Bran bukannya bantu lepaskan sumpalan mulut dan tali yang diikat di kaki juga tangan, malah peluk-peluk gue. Suka banget ambil kesempatan. Terasa sesuatu yang hangat di puncak kepala. Apaan tuh?
Tubuh ini langsung bergerak memberikan kode kepada Bran agar bisa lepaskan semua ikatan.
"Sorry, gue khawatir banget tadi," ucap Bran sambil membuka saputangan yang menutup mulut.
"Minum ... haus," pinta gue lemas.
Bran menanggalkan tas yang disandang. Ternyata itu milik gue. Dia mengambil botol minum yang ada di samping kanan ransel kesayangan, lantas membuka tutup dan menyodorkannya ke bibir ini.
"Minum dulu, In."
Gue langsung meneguk air sebanyak-banyaknya sampai perut terasa perih.
"Lo kenapa?" tanya Bran cemas.
"Perut gue perih, Bran," jawab gue.
Akhirnya bisa lancar juga ngomong, setelah minum. Tapi tubuh ini masih lemas. Sumpah lapar banget. Bayangin orang yang suka makan belum makan apapun sejak tadi siang.
"Perih kenapa?"
"Bukain dulu tali ini. Pegel banget tangan diikat ke belakang nih."
Bran langsung membuka ikatan di tangan dan kaki ini. Akhirnya gue bisa lepas dari belenggu geng Chibie itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
JUST FRIEND (Trilogi JUST, seri-1)
Fiksi RemajaFollow akun penulis dulu yuk, sebelum dibaca ^^ Sebuah kesalahpahaman membuat Brandon dan Arini saling membenci. Sebuah kejadian lain membuat keduanya menjadi dekat, JUST FRIEND. Sebuah keputusan, kemudian memisahkan mereka, setelah menjalin persaha...