BRANDON
Aku senang setiap kali melihat wajah Iin bersemu merah. Rasanya menggemaskan. Bahkan dengan candaan yang dilontarkan beberapa jam lalu, dia jadi salah tingkah.
Dan hei, apakah kalian mengira aku tidak tahu saat dia mencium kening ini tadi? Ya, aku merasakannya namun memilih pura-pura tidak tahu. Mungkin Iin melakukan hal itu, karena kasihan kepadaku. Entah kenapa terasa begitu damai, sehingga seluruh masalah menghilang seketika.
Arini benar-benar menjadi tonggak penyangga yang menguatkan ketika fondasiku mulai rapuh. Rasanya aku tidak bisa lagi hidup tanpa dirinya. Semoga saja jika dia menikah nanti, kami masih bisa berjumpa.
Desahan pelan keluar dari sela bibir ketika selesai berpakaian di kamar yang biasa ditempati Tante Asma dan Om Yunus. Setelah dibujuk oleh Iin, akhirnya aku setuju pulang menemui Mama dengan catatan kembali lagi ke rumah ini setelah berbicara dengan beliau.
"Udah selesai, Bran?" teriak Iin dari luar kamar.
"Ya, sebentar. Gue keluar sekarang." Aku segera membuka pintu dan melangkah ke luar.
"Boleh numpang berkaca nggak di kamar lo sebentar, In?"
Dia mengangguk, lantas kembali lagi ke kamar.
Aku mengedarkan pandangan mengitari kamar Iin yang selalu rapi. Tilikan mata berhenti ketika melihat foto-foto kami sejak zaman SMA hingga sekarang berjejer di dinding. Ternyata dia memajangnya di kamar.
"Lo pasang foto kita, In?"
"Iya. Habis nggak ada foto cowok yang mau dipajang," sahut Iin terkekeh.
"Lengkap loh koleksi foto lo. Dari awal-awal kita temenan, masih ingusan sampai rapi kayak sekarang." Aku tergelak menyadari kulit yang dulunya gelap. "Ternyata lo bener ya, In. Gue dekil banget."
"Emang gitu. Heran aja kenapa cewek pada ngejar lo," cibir Iin membuatku menepuk pelan keningnya.
"Kalau sekarang gimana?" tanyaku mengusap dagu sembari menaik-naikkan kedua alis.
"Sama aja, nggak ada perbedaan," jawabnya cuek.
"Maksud lo masih dekil?" Mata sayuku melebar.
"Iya. Di mata gue lo masih sama kayak dulu, si Kunyuk yang dekil." Arini terpingkal hingga matanya berkaca-kaca.
"Bully gue sesuka hati lo sekarang, mumpung pasrah daripada nggak dikasih tempat nginap."
Arini menggeleng sambil melipat tangan di depan dada. "Nggak ah, kasihan sahabat gue cuma satu. Nggak tega juga nge-bully habis-habisan. Gue jadi ikutan sedih nanti kalau dia nangis lagi."
"Udah ah. Buruan sisir rambut, Tante Lisa udah nungguin," sambung Iin kemudian.
"Iya, Bawel. Ini juga mau sisiran," sungutku.
Aku segera menyisir rambut, setelahnya melangkah menuju ruang tamu. Arini naik ke lantai dua berpamitan kepada Donny. Sejak tadi pagi anak itu memilih bersemedi di dalam kamar, entah sedang apa. Mungkin sungkan juga mengganggu kami atau dia tahu kami berdua butuh privasi untuk bercerita.
"Bisa nyetir nggak?" ujar Iin begitu kami berada di dekat mobil.
"Sekarang sih udah aman, tapi nggak tahu pas balik nanti gimana." Aku menadahkan tangan menyambut kunci mobil. Setelahnya duduk di kursi kemudi, sementara Iin duduk di kursi penumpang.
"Hati-hati ya. Nyetir harus fokus," kata Arini sambil mengarahkan jari telunjuk ke matanya sendiri, lantas ke mataku.
"Tenang aja. Gue nggak mau mati muda. Pengin lihat lo nikah dulu," candaku disambut cubitan di pinggang.
KAMU SEDANG MEMBACA
JUST FRIEND (Trilogi JUST, seri-1)
Roman pour AdolescentsFollow akun penulis dulu yuk, sebelum dibaca ^^ Sebuah kesalahpahaman membuat Brandon dan Arini saling membenci. Sebuah kejadian lain membuat keduanya menjadi dekat, JUST FRIEND. Sebuah keputusan, kemudian memisahkan mereka, setelah menjalin persaha...