ARINI
Baru satu jam berada di rumah si Kunyuk, gue bisa melihat sisi lain dari dirinya. Ternyata dia nggak sedingin dan sekasar di sekolah. Ada sisi manis dan manja yang ditunjukkan ketika berinteraksi dengan Tante Lisa barusan. Sekarang si Kunyuk, malah menjadi sedikit terbuka.
Ah, seharusnya nggak panggil dia dengan sebutan si Kunyuk lagi kali ya? Gimanapun juga, dia sudah tolongin gue dua kali dan itu lebih dari cukup. Start from now on, gue bakal panggil dengan sebutan nama, Brandon. Atau mungkin ikutan Tante Lisa yang memanggilnya Bran.
"Mau nggak belajar bareng?" tanya gue lagi karena nggak dapat jawaban dari Brandon.
"Lo jangan salah paham. Niat gue murni karena balas budi, nggak ada udang di balik bakwan. Sumpah!" sambung gue lagi nggak ingin juga dia salah paham.
Dia tergelak mendengar perkataan gue. Ada yang lucu?
"Dih, kok ketawa sih?"
Lucu juga lihat si Brandon tertawa kayak gini, biasanya cuma menyeringai dengan tampang sok tengil. Semakin kenal, ternyata dia sosok yang menyenangkan juga.
"Aneh aja sih. Gue udah jahatin lo dari awal, tapi lo nggak dendam sama sekali. Malah mau bantuin gue."
Gue menyandarkan tubuh di punggung sofa, lantas menarik napas panjang.
"Dari kecil, gue diajarkan untuk nggak menyimpan dendam sama orang. Dosa," sahut gue jujur. Memang faktanya begitu, Bokap dan Nyokap selalu menanamkan nilai kebaikan dalam diri ini.
Dia menyipitkan mata sambil memandangi gue beberapa saat.
"Oke. Tapi ada syaratnya."
"Kocak deh, gue mau balas budi tapi malah dikasih syarat."
"Mau nggak?" Alis Brandon naik sebelah.
Gue menoleh ke arahnya sambil menyelipkan rambut di belakang telinga. "Ya udah, apa syaratnya?"
"Syaratnya lo harus jadi teman gue. Just friend, nggak lebih." Dia menarik napas singkat. "Gue nggak suka berteman kalau ujung-ujungnya ada perasaan."
"Oke. Deal!" sahut gue tanpa ragu.
Siapa juga yang mau suka sama cowok tengil kayak si Kunyuk ini, eh Brandon maksudnya. Lagian dia bukan tipe gue, begitu juga sebaliknya. Paling nggak bisa balas budi. Coba deh kalian bayangin gimana diri ini kalau Brandon nggak tolongin tadi?
Brandon tersenyum lebar sambil mengulurkan tangan. Gue membalasnya dengan menggenggam tangannya erat. Beginilah kisah persahabatan kami dimulai dengan ketulusan, tanpa embel-embel perasaan.
"Lo jangan panggil gue Kutilangdara lagi," cetus gue sambil melebarkan mata.
"Lo juga jangan panggil gue Kunyuk, nggak sopan."
Kami mencapai kesepakatan untuk memanggil nama masing-masing, alih-alih nama julukan.
"Sekarang gue mau ngetes kemampuan lo main God of War, Ini," tuturnya mengerling ke arah gue.
"Ini?" kening jadi berkerut nggak paham.
"Iya, Arini, gue panggil Ini. Ar-nya dihilangin."
"Enak aja! Nanti ada 'Itu' lagi," protes gue keberatan.
Brandon cekikikan. "Habis asik tuh kalau panggil lo dengan sebutan Ini."
"Nggak bisa! Panggil Ari atau Rini aja, jangan Ini."
"Galak banget sih jadi cewek." Bran menyipitkan mata sambil memandangi gue lekat. Dia menarik napas panjang ketika berpikir.
"Ya udah, gue panggil Iin aja deh. Boleh, 'kan?" sambungnya lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
JUST FRIEND (Trilogi JUST, seri-1)
Fiksi RemajaFollow akun penulis dulu yuk, sebelum dibaca ^^ Sebuah kesalahpahaman membuat Brandon dan Arini saling membenci. Sebuah kejadian lain membuat keduanya menjadi dekat, JUST FRIEND. Sebuah keputusan, kemudian memisahkan mereka, setelah menjalin persaha...