BRANDON
Aku panik sekali ketika Bi Ijah menelepon sepuluh menit lalu. Beliau mengatakan Mama dan Papa bertengkar hebat di rumah. Ada apa? Kenapa mereka bisa bertengkar? Selama ini tidak pernah ada masalah berarti.
Mata terpejam erat ketika membayangkan berbagai kemungkinan penyebab keduanya bertengkar. Ya Tuhan, apa yang sebenarnya terjadi?
Hingga saat ini aku belum mengatakan alasan kenapa tiba-tiba harus pulang kepada Arini. Bersyukur dia tidak menanyakan dan menurut ketika diminta tolong menyetir ke rumah. Dengan perasaan seperti ini, mustahil bagiku mengemudi kendaraan pulang.
Aku memandang sendu Iin yang fokus mengemudi. Beruntung jalanan belum macet, sehingga dia bisa mengemudi dengan tenang. Ternyata kemampuan menyetirnya mengalami kemajuan yang pesat.
"Nanti sampai rumah, lo jangan masuk dulu ya, In. Drop aja gue di depan pagar," pintaku menoleh ke arah Iin.
Arini menggelengkan kepala. "Gue turun sebentar aja. Kangen sama Tante, udah seminggu nggak ketemu."
"Jangan sekarang, In."
"Kenapa?" Dia melihat sekilas kepadaku, kemudian fokus lagi menatap jalanan.
"Gue nggak bisa kasih tahu sekarang, tapi nanti pasti bakalan cerita."
Aku mengerling ke tangan Iin yang sedang memegang setir. Ingin sekali menggenggamnya erat sekarang, namun ditahan khawatir dia tidak konsen mengemudi.
"Mobil lo bawa pulang aja nanti."
"Gue bisa pulang pakai taksi, Bran."
"In, please! Gue lagi nggak mood debat sekarang. Nurut aja ya?!"
Kepalanya mengangguk pelan. Dia menuruti perkataanku. Mana bisa kubiarkan Iin pulang dengan Taksi.
Jika ditanya siapa yang paling mengerti diriku selain Mama dan Papa? Jawabannya adalah Iin. Dia sangat memahami watakku, sehingga tidak perlu berbicara berulang-ulang pun langsung didengarkan. Andai Arini bukan sahabatku, mungkin sudah sejak dulu kupacari. Ah, tidak! Lebih tepatnya dijadikan istri.
Astaga! Di saat seperti ini kenapa memikirkan istri? Sekarang aku bahkan mulai ragu untuk berkomitmen dan menjalin hubungan serius dengan wanita.
Tiba-tiba jadi ingat dengan hal gila yang hampir saja dilakukan tadi. Aku nyaris mencium bibir Iin jika saja Bi Ijah tidak menelepon. Anehnya, dia juga diam saja saat bibir kami hampir bertemu. Apakah yang dikatakan temanku waktu itu benar? Mana mungkin, 'kan?
Beberapa menit kemudian, kami tiba di depan rumah. Sesuai dengan permintaan, Iin menurunkanku di dekat pagar. Tak kubiarkan dia masuk ke rumah, karena situasi di dalam mungkin tidak kondusif.
"Nanti telepon ya, Bran. Gue khawatir banget sama lo," ujar Iin sebelum aku turun.
"Pasti. Gue akan kabari lo kalau udah kelar," sahutku berusaha tersenyum namun tidak bisa.
"Hati-hati nyetir ya, In. Kabari juga kalau udah sampai rumah. STNK ada di dalam dompet kunci mobil," kataku sebelum turun.
Aku mengembuskan napas berat setelah turun dari mobil, kemudian diam sebentar di dekat pagar melihat kendaraan yang membawa Iin menghilang di ujung jalan perumahan.
Kini saatnya menghadapi kemungkinan buruk yang terjadi di dalam. Aku yakin masalah yang mereka hadapi tidak mudah sekarang.
Jantungku berdentum kencang saat kaki melangkah memasuki pekarangan. Penjaga menyapa dan menanyakan kenapa aku pulang tanpa mobil, hanya lambaian tangan yang diberikan sebagai jawaban. Ya Tuhan, apa yang sebenarnya terjadi di dalam?
"Lisa, dengarkan Mas dulu. Ini tidak seperti yang kamu pikirkan." Terdengar suara Papa ketika aku sudah berada di dalam rumah, sepertinya dari ruang keluarga.
Aku memilih berdiri di ruang tamu mendengarkan pembicaraan mereka.
"Tidak ada lagi yang harus aku dengarkan, Mas. Kamu sudah melukai perasaanku. Apa yang kamu lakukan sebuah pengkhianatan!" balas Mama meninggikan suara di sela isak tangis.
Pengkhianatan? Apa Papa berselingkuh? Hati ini rasanya sedang dihujam pisau yang tajam, sakit rasanya. Bagaimana bisa Papa yang sangat menyayangi dan mencintai Mama berkhianat?
"Mas hanya ingin bertanggung jawab, karena itu menikahinya. Dia sudah hamil, Lisa. Jika tidak—"
"Jika tidak Mas akan melanjutkan perselingkuhan itu?"
"Mas tidak berselingkuh, Lisa. Kejadian itu terjadi begitu saja. Mas juga tidak tahu!"
Kepala mendadak pusing mendengar mereka bertengkar. Dada terasa semakin sesak. Orang tua yang menjadi kebanggaan, keluarga yang begitu dicintai kini terancam hancur karena kehadiran pihak ketiga dalam pernikahan Papa dan Mama.
Cobaan macam apa lagi ini ya Tuhan? Kenapa dalam dua tahun ini kejadian demi kejadian hadir dalam kehidupanku?
Tubuh kini bersandar ke dinding dengan dada yang terasa perih, seakan remuk di bagian terdalam.
"Ceraikan aku, Mas!" pinta Mama terdengar pilu.
Bercerai? Kedua orang tuaku akan bercerai? Tak pernah terbayangkan hal ini terjadi.
"Sampai kapanpun Mas tidak akan menceraikan kamu, Lisa. Mas cinta sama kamu," ucap Papa lantang.
Cinta? Hah! Pantaskan dia mengucapkannya setelah mengkhianati Mama?
"Aku juga mencintai kamu, Mas. Cintaku masih sama dengan sebelumnya, tapi aku tidak bisa dimadu," sanggah Mama tak mau kalah.
Cukup! Aku tidak tahan mendengarkannya. Kaki ini terasa berat ketika melangkah menuju ruang keluarga yang bersebelahan dengan ruang tamu.
"Apa yang terjadi, Ma, Pa?"
Kehadiranku menyentakkan mereka berdua. Mama duduk di sofa dengan mata membengkak, sementara Papa bersimpuh sambil memeluk kakinya. Apa yang sebenarnya membuat pria yang sangat mencintai Mama ini bisa berselingkuh?
"Bran?" desis keduanya serentak.
"Bisa jelaskan kepadaku situasi apa ini? Apa yang terjadi? Apa benar yang kudengar barusan?" tanyaku bertubi-tubi dengan mata mulai menghangat.
Mama kembali menangis dengan kedua daun tangan menutupi wajah. Sementara Papa berdiri, lantas berusaha meraih bahuku namun ditepis.
"Dengarkan penjelasan Papa dulu, Bran."
"Aku hanya butuh jawaban iya atau tidak dari Papa. Apa yang kudengar barusan benar? Apa Papa berselingkuh?" lirihku menahan sebak di dada.
"Papa tidak berselingkuh, Bran. Papa hanya menikahi wanita itu sebagai pertanggung jawaban," ungkap Papa membuat tungkai ini terasa lemas.
"Sudah cukup, Pa! Hanya itu yang ingin kutanyakan." Pandangan beralih kepada Mama.
"Besok aku ke sini lagi, Ma," pungkasku, kemudian menarik kaki yang terasa berat melangkah ke lantai dua.
Mama dan Papa memanggil, namun tak kuhiraukan. Aku butuh tempat untuk menenangkan diri sekarang. Dalam kejadian ini bukan hanya Mama yang menjadi korban, tapi diriku juga.
Arini. Ya, aku butuh dia untuk menenangkan diri.
Begitu tiba di kamar, aku mengeluarkan travel bag dari lemari kemudian mengisinya dengan pakaianku. Mau ke mana malam ini? Otak bahkan tidak bisa berpikiran jernih sekarang.
Setelah mengambil pakaian secukupnya, aku turun lagi ke bawah dan pergi meninggalkan rumah. Tiba di luar pagar, aku harus berjalan lagi mencari taksi. Satu blok dari rumah, kebetulan taksi lewat. Bersyukur taksi itu kosong.
"Jalan Tanah Abang IV ya, Pak," ujarku kepada supir taksi.
Satu-satunya tujuan yang ada di pikiranku adalah rumah Iin. Di sanalah ketenangan bisa didapatkan, apalagi ada Arini, tempatku mengadu dan mencurahkan semua yang ada di hati.
Bersambung....
Setiap ada masalah, Bran selalu ingat Iin. Gak bisa lepas lagi tuh dari si Kutilangdara :)))
KAMU SEDANG MEMBACA
JUST FRIEND (Trilogi JUST, seri-1)
Novela JuvenilFollow akun penulis dulu yuk, sebelum dibaca ^^ Sebuah kesalahpahaman membuat Brandon dan Arini saling membenci. Sebuah kejadian lain membuat keduanya menjadi dekat, JUST FRIEND. Sebuah keputusan, kemudian memisahkan mereka, setelah menjalin persaha...