ARINI
Si Kunyuk kurang ajar. Dia pikir gue mau aja disuruh-suruh bersihkan ruangan ini? Lagian petugas sebentar lagi pasti datang beresin semua. Mata sayunya masih melihat tajam ke arah sini.
"Aku ke sana dulu ya, Kak," ujar gue sama Kak Toni, salah satu senior.
Kak Toni yang rekomendasikan gue sama Pak Bambang agar bisa ikut klub basket ini, meski nggak bakalan pernah bisa ikut kompetisi. Dia bilang kasihan bakat kalau nggak diasah, kali aja bisa gabung klub basket nasional suatu hari nanti. Bagi gue, basket hanya sekedar hobi dan nggak pernah berkeinginan untuk ikut pelatihan khusus atlet.
"Sabar ya, Arini. Brandon memang terkesan kasar, tapi anaknya baik kok," tutur Kak Toni menyemangati.
What? Baik apanya? Baru ketemu aja udah bikin jengkel, rasa pengin gue cakar-cakar tuh muka tengilnya, batin gue.
Gue tersenyum sambil mengacungkan jempol, lantas melangkah menuju tempat Dust Mop berada. Pandangan ini beralih ke arah si Kunyuk, ternyata dia lagi ngobrol sama Pak Bambang. Sepertinya harus berdiri di sini dulu sampai beliau pergi.
Begitu Pak Bambang keluar lagi, gue langsung melangkah cepat mendekati si Kunyuk. Gigi rasanya sudah menggeletuk erat. Napas keluar dari bibir dan hidung dalam waktu bersamaan.
"Nih, bersihkan sendiri! Gue datang ke sini buat latihan, bukan jadi babu lo!" sergah gue tepat di depan si Kunyuk.
Dia kaget dong mendengar perkataan gue. Mungkin dalam pikirannya, diri ini sama kayak siswi yang mau saja diintimidasi tanpa perlawanan.
Sorry, Nyuk. Pikiran lo salah tentang gue. Meski nggak berasal dari keluarga kaya, tapi gue masih punya harga diri, bisik gue dalam hati.
Air muka si Kunyuk kembali berubah datar kayak biasanya. "Lo masih mau main basket nggak di sini? Kalau masih, lakukan apa yang gue minta."
"Emang ada peraturan tertulis harus melakukan apa yang diminta Brandon Harun, agar bisa latihan di sini?" tantang gue semakin maju ke depan.
Mata sayu si Kunyuk jadi tajam sekarang. "Di klub ini gue kaptennya. Suka-suka gue dong mau kasih syarat apa sama anggota klub."
"Ada peraturan yang menyatakan kapten bebas mengubah atau menambahkan peraturan?" Gue masih belum mau kalah.
"Lo—" geramnya.
"Kenapa? Bingung mau beralasan apa lagi?" Gue mendongakkan kepala dengan tatapan menantang. "Atau lo benar-benar niat banget bikin gue mundur dari sini?"
Gue malah tertawa singkat. "Jangan bilang lo masih berpikir kalau gue ikut klub ini biar bisa deketin lo."
Ya Tuhan, leher pegel juga lama-lama. Ini anak tinggi banget.
"Faktanya begitu. Mana ada sih cewek yang suka rela masuk ke klub basket cowok, kalau bukan incar anggotanya?!"
Lama-lama kesel juga sama nih anak. Emang sebelumnya gue sudah sebal dengan si Kunyuk ini.
"Gue masuk klub ini murni karena hobi main basket. Lo mau lihat gimana cara gue main? Dari sini, gue bisa masukin bola ke dalam ring sana," kata gue menunjuk ke arah ring yang berjarak tiga meter.
Setelah mengembuskan napas keras, gue melangkah menuju keranjang yang berisi bola basket dan mengambilnya satu. Jari telunjuk dan jari tengah diarahkan ke dua bola mata, memberi kode agar si Kunyuk melihat permainan ini dengan saksama. Senyum miring diberikan kepadanya.
Gue mengambil posisi dengan jarak yang sama dengan tadi. Pertama kali yang dilakukan sekarang adalah menekuk sedikit kaki sambil melakukan stationary dribble dengan mata fokus melihat ke depan sambil memantulkan bola ke lantai. Dalam hitungan detik, gue sudah berdiri dengan posisi untuk melakukan shooting dan ... bola masuk ke dalam ring dengan sempurna.
KAMU SEDANG MEMBACA
JUST FRIEND (Trilogi JUST, seri-1)
Teen FictionFollow akun penulis dulu yuk, sebelum dibaca ^^ Sebuah kesalahpahaman membuat Brandon dan Arini saling membenci. Sebuah kejadian lain membuat keduanya menjadi dekat, JUST FRIEND. Sebuah keputusan, kemudian memisahkan mereka, setelah menjalin persaha...