BRANDON
"Makan sekarang yuk! Kasihan tuh cacing di perut," ajakku sambil menyerahkan helm kepada Iin.
"Bentar."
Iin meletakkan tas di atas jok motor, lalu mencari sesuatu di dalamnya. Dia mengeluarkan jaket berbahan kaus dan tisu basah. Jaket itu diserahkan kepadaku.
"Pakai ini biar nggak dingin. Mudah-mudahan muat di tubuh lo," katanya tersenyum manis memperlihatkan lesung pipi.
"Lo bawa beginian?"
Dia menganggukkan kepala. "Buat jaga-jaga kalau hujan pas pulang sekolah."
"Trus lo gimana? Udah malam loh, In."
"Lo lebih butuh, Bran. Apalagi duduk di depan. Gue masih kehalang sama lo."
Aku berdecak, lantas memasangkan jaket itu. Meski pas di tubuh, tapi masih nyaman dikenakan. Pandangan beralih melihat Iin menyeka wajah dengan tisu basah. Parasnya benar-benar kusut waktu aku tiba di gudang tadi, ketakutan juga.
Entah apa yang menyeretku ke arahnya, sehingga memeluk tubuh kurus Iin. Tak hanya itu, aku juga memberi kecupan di puncak kepala Iin tadi. Semoga itulah hal tergila yang pernah dan akan dilakukan kepadanya.
"Yuk! Cacing di perut udah berontak nih." Iin meringis sambil mengelus perut.
Kasihan juga, pasti dia kelaparan sekarang. Apalagi istirahat tadi siang tidak makan ke kantin.
Kami langsung menaiki motor menuju restoran makanan cepat saji yang ada di dekat sini. Dia butuh nasi sekarang. Segera kupacu kendaraan roda dua ini, agar perut Iin bisa terisi lagi. Beruntung aku membawa uang untuk berjaga-jaga tadi.
Tak lama kemudian, motor berhenti di tempat parkir restoran cepat saji. Aku sungguh tak peduli dengan penampilan sekarang, terutama dengan sandal jepit yang menghiasi kaki. Selama Iin bisa makan, malu masih bisa ditahan. Hehe!
Setelah memesan menu makanan, kami langsung mengambil tempat duduk.
"Astaga! Gue belum kabari Tante Asma," cetusku sambil menepuk jidat.
"Biar gue aja, Bran."
Aku menggelengkan kepala. "Gue aja, In. Lagian ponsel lo masih mati tuh."
Aku langsung menghubungi Tante Asma. Dalam hitungan detik, terdengar suara beliau di seberang sana.
"Bagaimana, Bran? Ari sudah ketemu?"
"Alhamdulillah udah, Tan. Anaknya lagi makan sekarang. Laper banget kayaknya," sahutku tersenyum melihat Iin makan dengan lahap.
"Ari kenapa, Bran? Apa terjadi sesuatu kepadanya? Ada yang coba celakai Ari?" cecar Tante Asma dengan nada cemas.
"Brandon masih belum tahu persisnya gimana, Tan. Yang jelas sekarang Iin udah ketemu dalam keadaan sehat wal afiat," jawabku berusaha menenangkan Tante Asma.
"Alhamdulillah ya Allah. Tante cemas sekali. Setelah itu tolong antarkan pulang ya?" pinta Tante Asma.
"Iya, Tan. Nanti Brandon antar Iin pulang," tanggapku. "Tante mau ngomong nggak sama Iin?"
Iin menegakkan kepala melihat ke arahku, bersiap mengambil ponsel.
"Lagi makan, 'kan? Kasihan kalau harus berhenti makannya. Nanti saja di rumah."
Aku menggelengkan kepala, memberi kode Tante Asma tidak jadi berbicara. Mungkin kasihan sama Arini, karena lagi lapar.
"Makasih ya, Nak. Tante hutang banyak sama kamu," pungkas Tante sebelum panggilan berakhir.
KAMU SEDANG MEMBACA
JUST FRIEND (Trilogi JUST, seri-1)
Teen FictionFollow akun penulis dulu yuk, sebelum dibaca ^^ Sebuah kesalahpahaman membuat Brandon dan Arini saling membenci. Sebuah kejadian lain membuat keduanya menjadi dekat, JUST FRIEND. Sebuah keputusan, kemudian memisahkan mereka, setelah menjalin persaha...