BAB 72: Perasaan yang Tidak Tenang

124 17 8
                                    

BRANDON

Aku menatap nanar layar gadget pipih yang ada dalam genggaman. Hampir satu tahun Iin tidak bisa dihubungi. Ada apa dengannya? Kenapa tidak ada lagi telepon dan chat dari sahabatku? Hati kembali tidak tenang.

Ingin menghubungi Tante Asma untuk menanyakan Iin, namun diurungkan. Khawatir jika menimbulkan masalah jika Om Yunus tahu. Setelah ganti ponsel, nomor Uda David juga tidak ada lagi di daftar kontak. Nomor Donny sejak dulu tidak pernah disimpan, karena jarang berkomunikasi.

Segera dibuka akun sosial media milik Iin, mulai dari Facebook hingga Instagram. Tidak ada postingan terbaru di sana. Terakhir kali dia mengunggah foto sebelum kami berpisah satu minggu menjelang pernikahan.

"Kenapa, Bran? Sejak tadi Mama lihat kamu gelisah," tanya Mama berdiri di dapur apartemen.

Mama sedang berkunjung ke apartemen, karena hari ini aku libur. Seperti biasa, beliau mengecek kebutuhan makanan untuk satu minggu. Terkadang Bi Ijah juga datang ke sini mengantarkan makan siang dan malam.

"Iin satu tahun nggak ada kabar, Ma. Chat terakhir waktu itu juga nggak dibalas," jawabku.

"Coba tanya Uni Asma saja, Bran," usul Mama.

Aku menggeleng. "Nggak enak, Ma. Nanti Om Yunus tahu."

"Sini Mama yang telepon," katanya bergegas menuju sofa.

Memang sebaiknya Mama yang menghubungi Tante Asma. Beliau tahu kalau Mama dekat dengan Iin. Aku memberikan nomor ponsel Tante Asma kepada Mama.

Setelahnya Mama langsung menghubungi Tante Asma.

"Assalamualaikum, Uni. Apa kabar?" sapa Mama setelah mendapatkan jawaban dari Tante Asma.

Mama langsung menyalakan loudspeaker agar aku bisa mendengar percakapan mereka.

"Waalaikumsalam. Alhamdulillah baik. Maaf ini siapa ya?" sahut Tante Asma.

"Ini Lisa, Mamanya Brandon."

"Masya Allah, Mbak Lisa. Apa kabar? Sudah lama kita tidak berkomunikasi ya?" Nada suara Tante Asma terdengar ceria.

"Baik, Alhamdulillah. Bagaimana kabar Arini?"

Tante Asma terdiam beberapa saat. Hanya terdengar suara tarikan dan embusan napas di telepon.

"Baik juga, Mbak. Lagi ke luar sekarang," kata Tante Asma dengan suara terdengar lesu.

Aku yakin sekarang sahabatku sedang tidak baik-baik saja. Ada yang aneh dengan Tante Asma, terdengar jelas dari nada suara yang kontras dari pertama menjawab telepon tadi. Semoga saja ini hanya perasaanku saja.

Mama melanjutkan percakapan dengan Tante Asma beberapa menit kemudian, sedangkan aku memilih duduk bersandar di sofa sambil menatap plafon.

"Kamu sudah dengar apa yang dikatakan Uni Asma tadi, 'kan?" Mama kembali berbicara denganku setelah panggilan berakhir.

Aku menoleh kepada Mama sambil mengedipkan mata. Beliau menatapku lama sebelum melanjutkan lagi percakapan ajaib yang kerap didengar belakangan ini.

"Sampai kapan kamu mengkhawatirkan Arini, Bran? Dia sudah bahagia sekarang dengan suaminya." Mama mendesah pelan. "Sudah saatnya kamu memikirkan diri sendiri. Cari calon istri agar Mama bisa tenang, tidak lagi khawatir kamu sendirian."

Percakapan dengan topik membosankan dimulai.

"Aku masih muda, Ma. Masih jauh urusan pernikahan. Umur juga belum masuk dua puluh enam."

JUST FRIEND (Trilogi JUST, seri-1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang