BAB 22: Being a Best Friend

159 20 13
                                    

BRANDON

Aku melihat Iin pergi meninggalkan kami berdua. Ada yang aneh dari gelagatnya sejak tadi. Dia sempat melontarkan pernyataan yang kontras ketika berbicara dengan Papa, begitu juga dengan tadi. Apa benar Arini memiliki pacar? Atau bisa jadi berbohong agar aku tak lagi mengganggunya, 'kan? Mencurigakan.

"Kenapa, Ngeng? Segitunya lihatin Arini?" celetuk Gadis menyentakkanku.

"Eh?" Aku menggelengkan kepala. "Nggak kok."

"Lo yakin nggak ada perasaan apa-apa sama dia?" selidik Gadis menatap curiga.

"Ya nggak-lah. Lagian bukan tipe gue," kilahku sambil menyandarkan tubuh.

"Kali aja gitu. Anaknya cantik juga kok."

Aku hanya mengembuskan napas pendek menanggapi perkataan Gadis. Pandangan beralih ke pintu masuk restoran cepat saji, tanpa sengaja tertangkap sosok cewek yang cukup akrab di mata.

"Hai, Brandon. Jodoh banget ya ketemu di sini," sapanya sambil mengibaskan rambut hitam panjang sedikit di bawah bahu.

Gadis melihat ke sumber suara, lantas menendang kaki ini. Dia memberi kode menanyakan siapa cewek yang kini sudah bertengger di kursi tempat Iin duduk tadi. Aku hanya menanggapinya dengan mengedipkan mata.

Leader geng Chibie yang aku tak tahu siapa namanya itu, menatap sinis ke arah Gadis. "TTM-an lo?"

Aku tak menanggapi, lebih memilih memalingkan paras.

"Siapa nih, Ngeng?" tanya Gadis membuatku semakin meradang.

Mata ini mendelik nyalang kepada sepupuku itu. Jangan sampai anak ini tahu panggilan Cengeng yang diberikan oleh Gadis, cukup Iin saja yang tahu.

"Calon pacarnya Brandon," jawab cewek itu sambil tersenyum licik.

"Lo jangan mengada-ngada deh. Pergi sana," usirku mengibaskan tangan.

Gadis malah tertawa. "Eh, Non. Ngaca dulu gih! Tipe Brandon itu nggak kayak lo."

Wajah leader Chibie yang aku tak ingat namanya itu memerah. Dia mengarahkan telunjuk kepada Gadis. Cari gara-gara rupanya dengan sepupuku. Belum tahu dia siapa Gadis?

"Yang jelas bukan cewek kayak lo!" balasnya.

Dalam hitungan detik, tangan Gadis berhasil menarik jari telunjuk cewek yang cantiknya di bawah rata-rata itu jika tidak berdandan.

"Pantangan gue banget ditunjuk-tunjuk kayak gini. Sialan lo!" Gadis memelintir tangan cewek itu, sehingga membuatnya meringis kesakitan.

Pandangan ini beralih melihat ke arah pintu masuk, karena Iin belum kembali. Ternyata dia sudah berdiri di depan restoran entah sejak kapan. Dari kejauhan tampak raut tegang di wajahnya melihat ke arah leader geng Chibie.

Aku langsung berdiri, lantas melangkah ke luar restoran meninggalkan Gadis dan cewek itu. Iin butuh seseorang untuk menenangkan sekarang. Tidak sampai satu menit, tangan ini sudah merangkul bahunya. Dia hanya diam saat aku membawanya pergi dari sana.

"Lo kenapa, In?" bisikku begitu kami tiba di sisi berlawanan dari restoran.

Iin diam, tapi wajahnya tampak gelisah. Mata juga melihat tidak tenang. Aku mengusap puncak kepala teman baruku ini untuk menenangkannya.

"Ssst ... lo nggak boleh takut ketemu sama dia." Setidaknya itulah yang dapat disimpulkan dari keadaan ini.

"Gue takut dikurung lagi, Bran," risik Iin dengan dagu bergetar.

Aku menggelengkan kepala. "Nggak akan ada yang berani lakukan itu sama lo, In. Ada gue yang akan lindungi lo," hiburku sambil memandangi netra cokelatnya bergantian.

JUST FRIEND (Trilogi JUST, seri-1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang