ARINI
Gue mematut lama pantulan diri di cermin. Tiba-tiba tubuh jadi merinding saat ingat pertama kali melihat wajah Bran dengan jarak yang sangat dekat dua hari yang lalu. Jantung selalu berdebar kalau bayangan itu muncul. Kalian tahu apa yang dirasakan pada saat itu? Jantung nyaris mencelos saking berdebar cepat. Mata langsung terpejam menghalau penggalan ingatan tadi.
"Sudah selesai, Ri?" teriak Mama dari luar.
"Tinggal ikat rambut, Ma," sahut gue sedikit mengeraskan suara.
Hari ini kami sekeluarga akan ikut dengan keluarga Harun ke puncak, seperti yang telah direncanakan. Brandon katanya mau pamer PS3 yang dibelikan Om Sandy kemarin, begitu pulang dari Bandung. Dia bilang mau main semalaman untuk melampiaskan penantian panjang memiliki game terbaru itu.
Setelah memastikan rambut telah terikat rapi, gue langsung meraih sling bag dan travel bag berukuran kecil. Rencananya kami akan menginap di sana selama dua malam. Om Sandy bilang sekalian liburan setelah kerja rodi di kantor. Penginnya sih sebulan aja sekalian, karena gue dan Bran sudah memasuki liburan panjang.
"Ngumpul di luar sekarang. Mas Sandy tadi bilang sudah di jalan," ujar Papa meraih travel bag gue.
Eh, Kak Gadis ikut juga nggak sih? Kalau ikut bakalan seru tuh. Rame pasti nanti.
Uda David tampak santai banget pakai baju kaus dan celana jeans. Donny juga cuek bebek pakai kaus oblong dipadu dengan celana katun pendek di bawah lutut. Nggak kedinginan apa pakai celana pendek gitu? Tapi wajahnya senang banget tuh mau jalan-jalan.
Ngomong-ngomong keluarga gue dan keluarga Bran jadi deket banget sejak kejadian naas beberapa bulan lalu. Kami kayak keluarga besar sekarang. Apalagi Om Sandy dan Tante Lisa juga anggap gue kayak anak sendiri.
"Jaket dibawa 'kan, Ri?" tanya Mama membuat kepala ini langsung menoleh ke kanan.
"Udah di travel bag," jawab gue mengerling ke koper kecil yang ditaruh Papa di luar.
"Baju yang dibawa lengan panjang semua 'kan?" Mama memastikan lagi.
Gue manggut-manggut. Mama tahu persis kalau anaknya ini nggak tahan dingin. Suka menggigil kalau kedinginan. Apalagi di puncak udaranya lebih dingin dari Jakarta.
"Mas Sandy sudah datang tuh," seru Papa.
Uda David dan Donny langsung membantu beliau mengangkat travel bag kami semua. Om Sandy dan Brandon juga turun dari minibus keluaran Toyota tersebut. Kendaraan berwarna silver itu cukup menampung keluarga besar gue dan keluarga kecil Bran.
Setelah semua barang naik ke atas mobil, giliran kami sekeluarga mengambil tempat duduk masing-masing.
"Duduk sama gue aja, In," kata Bran mengerling ke kursi nomor dua dari belakang.
Gue mengangguk sebelum menaiki minibus. Ternyata Tante Lisa sudah duduk manis di kursi tepat belakang supir. Mama dan Papa bakalan duduk di belakang Om Sandy dan Tante Lisa deh. Sementara Uda David dan Donny duduk di kursi paling belakang.
"Kak Gadis nggak ikut?" Gue menoleh ke arah Bran yang sudah duduk di samping.
"Gadis udah terlanjur ada acara sama teman-temannya, Rin. Katanya lain kali saja," sahut Tante Lisa dari depan.
"Padahal seru tuh kalau Kak Gadis ikut, Tan."
"Nggak ah. Makin kacau nanti kalau dia ikut," sela Brandon.
"Hush! Nggak boleh gitu. Sepupu lo sendiri itu," tegur gue.
Bran mendengkus pelan.
"Dih kenapa sih? Mukanya sampai ditekuk?" bisik gue.
KAMU SEDANG MEMBACA
JUST FRIEND (Trilogi JUST, seri-1)
Novela JuvenilFollow akun penulis dulu yuk, sebelum dibaca ^^ Sebuah kesalahpahaman membuat Brandon dan Arini saling membenci. Sebuah kejadian lain membuat keduanya menjadi dekat, JUST FRIEND. Sebuah keputusan, kemudian memisahkan mereka, setelah menjalin persaha...