BAB 50: Bertemu dengan Para Pengkhianat

119 20 9
                                    

BRANDON

Awalnya aku mencoba untuk membiarkan masalah ini tanpa harus berbicara dengan Rafly dan Inez. Tapi setelah dipikir-pikir apa yang telah dilakukan wanita itu kepadaku adalah suatu kejahatan. Dia harus diberi ganjaran yang setimpal. Ah, memang apa yang bisa dilakukan terhadapnya? Menjebloskan ke penjara? Itu sama saja dengan bunuh diri. Aku bisa menjadi berita di media cetak dan membuat nama keluarga tercoreng.

"Ngomong aja sama mereka, Bran. Kalau mau maki-maki silakan, tapi setelah itu ikhlaskan dan maafkan." Begitu nasihat Iin saat kami berbicara di atas atap pagi tadi.

Bersyukur Arini akhirnya mau diajak bertemu dengan kedua pengkhianat itu. Paling tidak, dia bisa menguatkanku menjalani ujian ini. Bersama dengan Iin, semua seakan mudah dilewati.

Iin menggenggam erat tangan ketika memasuki gedung KFC Petojo. Dia seakan menyalurkan energi positif yang dimiliki, agar aku bisa mengontrol amarah yang sebenarnya meluap sekarang. Di usia semuda ini, sungguh sulit bagiku mengatur kadar emosi yang seharusnya dikeluarkan.

"Atur napas, Bran," bisik Iin sambil tersenyum lembut ketika langkah kaki terus melangkah menuju meja yang telah dipesan.

Aku hanya membalasnya dengan anggukan kepala. Beruntung sekali memiliki sahabat seperti Iin yang selalu membuktikan perkataan dengan perbuatan, bukan hanya bualan semata.

Kami tiba tiga puluh menit sebelum waktu yang ditentukan. Sepertinya makan menjadi pilihan pertama yang akan dilakukan, karena butuh tenaga ekstra untuk menghadapi mereka.

"Makan apa, In?" tanyakukembali berdiri sebelum beranjak ke meja tempat pemesanan.

Iin duduk di sampingku, agar kedua pengkhianat itu bisa duduk di depan kami. Ah, Rafly tidak tahu Inez akan ada di sini, begitu juga sebaliknya. Biar mereka terkejut melihat kehadiran masing-masing nanti.

"Bingung mau pesen apa. Pilihkan deh buat gue," jawab Iin seperti tidak selera makan.

"Tumben. Selera makan lo hilang karena mau ketemu mantan pacar ya?" ledekku disambut cubitan di pinggang.

"Enak aja! Nggak ngaruh lagi. Lo tuh yang tegang banget." Iin menunjuk tepat di wajahku.

"Gue nggak tegang, hanya kesel aja. Kerugian gue itu gede banget. Bayangin kehilangan sesuatu—"

"Udah, Bran. Nggak usah dilanjutkan," henti Iin dengan wajah sendu.

Sepertinya dia bisa merasakan apa yang kurasakan saat ini. Begitulah kami, bisa memahami satu sama lain. Paling tidak Arini jauh lebih beruntung, pacaran tapi belum pernah disentuh oleh Rafly. Tak bisa dibayangkan jika hal yang serupa terjadi kepadanya.

Aku memilih menu makanan yang sesuai dengan selera Iin. Setelahnyakembali lagi ke meja tempat duduk tadi.

"Gue mau tanya, tapi jawab dengan jujur ya," pintaku memandangi mata Iin bergantian setelah memesan makanan.

"Tanya apa? Serius banget tuh muka," tanggap Iin santai.

"Kalau nih ya. Misal lo nikah sama cowok yang nggak perjaka, mau nggak?"

Beruntung restoran lengang sehingga kami bisa membahasnya. Akan menjadi aneh jika orang-orang mendengar anak SMA membahas hal tabu seperti ini.

Arini tergelak mendengar pertanyaanku.

"Gue serius, In. Takut nih kalau nggak ada yang mau nikah sama gue nanti, setelah tahu pernah begituan."

"Kenapa tanya sama gue?"

"In?" Aku memasang wajah memelas sekarang. Ngeri juga nanti jika wanita menjauh setelah tahu diri ini tidak perjaka lagi.

"Emang gue bisa tahu ya calon suami nanti masih perjaka atau nggak?"

JUST FRIEND (Trilogi JUST, seri-1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang